HUKUM ADAT PEREKONOMIAN
MAKALAH
Diajukan sebagai tugas
pada mata kuliah Hukum Adat.
Dosen I : Wawan Muhwan Hariri, SH
Dosen II : E.Hasbi Nazzarudin, SH.
Disusun oleh :
TAUFIK AKBAR | 208.301.247 |
| |
IH-C SEMESTER III
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman kuno (pra-hindu). Adat istiadat yang sudah hidup dalam masyarakat pra-hindu tersebut menurut ahli hukum merupakan adat melayu–polensia, yang lambat laun datang dikepulauan kita ini yang memiliki kultur hindu, kemudian datanglah kultur islam & kristen yang mempengaruhi kultur asli yaitu adat istiadat yang dahulu pernah ada pada zaman hindu dan pra-hindu.
Pada awal sebelum abad ke-19, hukum adat di identikan dengan hukum agama yang dalam bahasa belanda godsdiens tigeweten selaras dengan pendapat Van Den Breg yang memperkenalkan teori receptia in complexto, yang menyatakan bahwa hukum adat golongan hukum masyarakat merupakan receptie seluruh agama yang dianut masyarakat .
Tiap hukum merupakan suatu sistem, artinya kompleks normanya itu merupakan suatu kebulatan sebagai wujud kesatuan pikiran yang hidup di masyarakat. sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat. Sementara antara sistem hukum adat & sistem hukum barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental , misalnya:
1) Hukum barat mengenal zakelijke rechten & personal ijke rechten.
2) Hukum adat tidak mengenal pembagian hak.
Lain hal itu pula terdapat hukum adat yang mengatur berbagai sendi dari kehidupan bermasyarakat, seperti hukum yang mengatur perekonomian masyarakat adat dan disebut sebagai hukum adat perekonomian. Dalam makalah ini akan dijelaskan seperti apa hukum adat tersebut dan hal apa sajakah yang terdapat dalam hukum adat perekonomian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka kami dapat merumuskan masalah dalam karya tulis ini, sebagai berikut:
1. Pengertian Hukum adat?
2. Hal-hal apa saja yang terdapat dalam hukum adat perekonomian?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah; untuk mengetahui apa pengertian hukum adat dan apasajakah yang termasuk didalamnya. Selain itupun kita dapat mengetahui bagaimana macam-macam dan pembagian hukum adat itu sendiri.
D. Manfat Hasil Penulisan
Semoga hasil penulisan dari makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis khususnya, karena pada dasarnya kita semua adalah seorang yang masih membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan untuk mengetahui segala hal yang ada di dalam kehidupan kita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum adat perekonomian adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana hubungan-hubungan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dikalangan rakyat jelata terutama di pedesaan, dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam perekonomian.
B. Hal-Hal Yang Terdapat Dalam Hukum Adat Perekonomian.
1) Hak Kebenaran.
Jika seorang penduduk desa ditanyakan, ini rumah siapa?, ia akan menjawab “rumah saya”, walaupun rumah itu, rumah orang tuanya atau rumah keluarganya. Jawaban tersebut tidak langsung menunjukan pengertian “hak milik mutlak” sehingga ia bebas melakukan perbuatan hukum terhadap rumah itu. Jika ia akan berbuat atas hak miliknya itu ia harus berbicara terlebih dahulu dengan anggota keluarganya. Begitulah pengertian hak milik Indonesia yang berfungsi sosial.
Hak atas bangunan rumah, atau juga tanaman tumbuhan, yang terletak diatas sebidang tanah, tidak selamanya merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu ada kemungkinan seseorang memiliki bangunan rumah atau tanaman tumbuhan yang terletak diatas tanah milik orang lain, atau milik kerabat atau milik desa. Jadi menurut hukum adat hak atas tanah terpisah dari hak atas bangunan atau juga hak atas tanam tumbuhan.
Begitu pula hukum adat tidak membedakan antara barang tetap dan barang bergerak (roerende dan onroerende goederen). Bagi masyarakat Jawa misalnya dapat terjadi “adol ngebregi” (jual tetap) atau “adol bedol”.
2) Kerjasama dan Tolong Menolong.
Dalam ekonomi pertanian ladang, jika penduduk akan membuka daerah perladangan, maka dalam melakukan pembukaan hutan, menebang pohon, menebas semak belukar, kemudian membakarnya, dilakukan bersama dan tolong-menolong. Setelah hutan dibersihkan, maka tanah perladangan itu dibagi-bagi bidangnya kepada para peserta kerjasama.
Di sumbawa berlaku adat kerjasama tolong-menolong dalam usaha pertanian, yang disebut “nulong”, “saleng tulong” dan “basiru”. “nulong” artinya kerjasama tolong-menolong dengan balas jasa, misalnya dalam menuai padi, setelah selesai maka anggota peserta mendapat seikat padi atau sejumlah uang, dan para peserta yang menolong diberi makan siang. “Saleng tulong” adalah kerjasama tolong-menolong tanpa balas jasa, para peserta hanya diberi makan siang dengan lauk-pauk yang istimewa. “basiru” adalah kerjasama tolong-menolong dengan balas jasa berupa pemberian uang atau padi para peserta, tetapi para peserta harus membawa makanan sendiri, kecuali memang telah dijanjikan ditanggung makan siang.
Kerjasama tolong-menolong yang sifatnya sosial keagamaan untuk keperluan membantu saudara atau tetangga yang menderita kecelakaan, kebakaran, sakit, kematian dan lainnya, agaknya berlaku di berbagai daerah. Begitu pula pemberian sumbangan bagi kerabat kerabat tetangga yang mengadakan hajatan sunatan, cukuran dan perkawinan. Apabila kerjasama tolong-menolong itu ditunjukan untuk kepentingan umum, seperti perbaikan jalan, tempat ibadah, balai desa dan lain-lainnya, yang mengerahkan tenaga kerja yang banyak dan dipimpin oleh perangkat desa disebut “gotong-royong”.
3) Usaha Perorangan
Apa yang duraikan diatas tadi adalah mengenai kerjasama tolong-menolong yang bersifat dan dilaksanakan berkelompok, baik untuk waktu yang sementara maupun untuk waktu yang lama. Kemudian yang dimaksud dengan usaha perorangan adalah perbuatan perorangan, yaitu dengan perbuatan menyerahkan atau mengerjakan sesuatu oleh orang satu dan orang yang lain dan berlaku timbal-balik. Misalnya yang disebut :
a) Beri-memberi
b) Pakai-memakai
c) Jual-beli
d) Titip-menitip
e) Hutang-piutang
f) Kerja-mengerjakan
4) Transaksi Tanah
Khusus mengenai usaha perorangan dalam hubungannya dengan bidang tanah (hak-hak atas tanah) dibicarakan tentang perbuatan yang bersifat sepihak, seperti pembukaan tanah, dan perbuata dua pihak seperti transaksi tanah.
Terjadinya hak milik atas tanah misalnya dikarenakan perorangan dengan keluarganya membuka tanah hutan untuk tanah peladangan, sampai menjadi tempat usaha yang tetap dengan penanaman tanaman tumbuhan. Sehingga menjadi tempat kedamaian sementara yang disebut “susukau” itu merupakan perbuatan sepihak, yang menimbulkan hak atas tanah bagi yang membukanya.
a) Hak-hak atas Tanah
Di beberapa daerah orang membuka tanah dimulai dengan memberi tanda “mebali” yaitu tanda akan membuka tanah. Tanda-tanda itu biasanya berupa tanda silang atau lingkungan rotan atau bambu yang dipisahkan diatas pohon, atau berupa dahan kayu yang diikat dengan rotan atau tali ijuk yang ditegakkan tegan dan nampak dari kejauhan. Dengan memberi tanda tersebut timbul hak untuk mengusahakan sebidang tanah (Hak membuka tanah).
Apabila tanah tersebut terus dibuka dan dijadikan tanhah peladangan yang ditanami palawija dan lainnya, maka terjadilah hak pakai atau hak mengusahakan tanah. Apabila tanah tersebut tidak diteruskan mengerjakannya, sedangkan tanda mebali masih terpasang diatas pohon, maka yang ada adalah “hak atas pohon”. Untuk menjadikan tanah itu hak milik, maka tanah lading itu harus dikerjakan terus-menerus, tetapi jika tanah peladangan itu ditinggalkan terbelangkai menjadi semak belukar atau menghutang kembali. Maka hak miliknya hilang dan yang ada adalah “hak utama” untuk mengusahakannya kembali. Hak utama ini akan hilang apabila bidang tanah tersebut telah menghutan, dan tanah itu akan kembali “hak ulayat” desa. Hak milik atas tanah peladadangan dapat ditingkatkan menjadi “hak milik tetap” apabila diatas tanah itu ditanami tanam tumbuhan berupa tanaman keras yang rapat sehingga menjadi tanah kebun.
Dikalangan masyarakat adat jarang terjadi pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada orang lain di pedesaan. Yang banyak berlaku adalah “hak numpang” atas tanah milik orang lain, dengan membangun perumahan sebagai tempat kediaman, atau menumpang untuk bertanam tumbuhan palawija, perbuatan ini disebut “tumpang sari”. Hubungan antara pemilik tanah dan penumpang bersifat kekeluargaan dengan beri-memberi, urus-mengurus, bantu-membantu.
b) Jual Lepas
Kebanyakan dimasa lampau jual lepas tanah berlaku secara tertulis dibawah tangan, dengan atau tanpa kesaksian perangkat desa. Di masa sekarang jual lepas harus dengan kesaksian perangkat desa. Sifat jual lepas ini terang dan tunai, artinya terang diketahui tetangga dan kerabat, dan dilakukan pembayarannya.
Adakalanya jual lepas tersebut disepakati dengan perjanjian bahwa penjual diberi hak utama membeli kembali, atau pembeli jika akan menjual lagi tanah itu harus memberi tahu dahulu kepada penjual tanah semula apakah ia akan membeli kembali tanah tersebut, jual beli tanah seperti ini disebut “jual kurung”, yang biasa terjadi dikalangan kerabat atau tetangga yang mempunyai hubungan akrab.
Dalam perjanjian jual lepas seringkali terjadi sebelum ijab-kabul (serah-terima) jual beli dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua pihak, pihak pembeli memberikan “panjer” atau “persekot” (voorschot) sebagai tanda jadi. Panjer atau persekot itu bisa berupa sejumlah uang yang diterima penjual dari pembeli. Apabila dikemudian hari perjanjian batal karena kesalahan penjual maka ia harus mengembalikan panjer dua kali lipat kepada pembeli, sebaliknya jika kesalahan itu dari pihak pembeli sehingga perjanjian itu batal maka panjer hilang. Lain halnya dengan persekot yang merupakan pembayaran pendahuluan dari pembeli kepada penjual. Yang akan dipotong dari pembayaran harga pembelian keika pelunasan pembayaran dilakukan.
c) Jual Gadai
Transaksi tanah yang disebut “jual gadai” (Jawa; adol sende, Sunda; ngajual akad/gade) adalah penyerahan tanah oleh penjual kepada pembeli dengan harga tertentu dan dengan hak menebusnya kembali. Dalam hal ini sebenarnya yang dijual bukan hak milik atas tanah, tetapi hak menguasai tanah, dimana pembeli selama tanah dikuasainya ia dapat memakai, mengolah dan menikmati hasil dari tanah gadaian itu. Selama tanah itu belum ditebus oleh pemilik tanah/penggadai, maka tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai/pembeli gadai.
Menurut hukum adat pemegang gadai tidak mampu menuntut pemilik tanah untuk menebus kembali tanah yang ia gadaikan, oleh karenanya jika pemegang gadai membutuhkan uang ia dapat menempuh dua jalan yaitu dengan “mengalihkan gadai” (onderverpanding). Yang dimaksud “mengalihkan gadai” ialah menggadaikan tanah itu lagi kepada orang lain atas persetujuan pemilik tanah, sehingga hubungan hukum antara pemilik tanah dengan pemegang gadaian pertama beralih kepada pemegang gadai kedua. Sedangkan yang dimaksud “mengganakkan gadai” adalah pemegang gadai pertama menggadaikan kembali tanah itu kepada penggadai kedua tanpa persetujuan pemilik tanah. Jadi hubungan hukum berlaku antara pemegang gadai pertama dengan pemegang gadai kedua.
Menurut pasal 7 PP pengganti UU No. 56 tahun 1960 dikatakan “barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai sejak berlakunya peraturan ini (yaitu tanggal 26 Desember 1960) sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemilik dalam waktu satu bulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan dan barang siapa melanggar, maka dapat dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-“.
d) Jual Tahunan
Transaksi tahunan terjadi apabila pemililk tanah menyerahkan tanahnya (sawah atau tegalan) kepada orang lain (penggarap) untuk beberapa tahun panen dengan menerima pembayaran terlebih dahulu dari penggarap. Setelah habis waktu tahun panen yang dijanjikan maka penggarap menyerahkan kembali tanah itu kepada pemiliknya. Biasanya jual tahunan itu berlaku untuk 1-3 tahun panen. Lama waktu tahun panen tergantung pada jenis tanaman yang digarap oleh penggarap. Tanaman jagung tahun panennya lebih singkat dari tanaman padi. Di beberapa daerah pedesaan orang jawa biasa menyebutnya “trowongan”, “kemplongan” atau “sewa tahunan”.
5) Transaksi Menyangkut Tanah
Transaksi tanah sebagaimana diuraikan di atas adalah transaksi dimana tanah yang dijadikan objek perjanjian. Jadi bidang tanahnya yang ditransaksikan, sedangkan transaksi menyangkut tanah bukan bidang tanahnya yang menjadi objek perjanjian, melainkan kekaryaannya, pengolahannya atau dijadikan jaminan. Dengan demikian bidang tanah hanya tersangkut saja, bidang tanah seolah-olah hanya sebagai lampiran dari penjanjian pokok. Misalnya; “perjanjian bagi hasil”, “perjanjian sewa”, “perjanjian berpadu”, perjanjian semu atau tanah sebagai jaminan.
a) Perjanjian Bagi Hasil
Apabila pemilik tanah membuat perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan tanah, mengolah dan menanami tanaman, dengan perjanjian bahwa hasil dari tanah itu dibagi dua (Jawa: maro, Periangan: nengah, Sumatera: pardua, Sulawesi Selatan: tesang, Minahasa: toyo), maka perjanjian demikian itu disebut “perjanjian bagi hasil”. Jika hasil itu dijanjikan dibagi tiga, maka disebut “pertiga” (Jawa: mertelu, Periangan: jejuron). Dengan perjanjian bagi bidang tanahnya, sehingga penggarap yang tadinya tidak memiliki tanah garapan menjadi pemilik tanah pula.
b) Perjanjian Sewa Tanah
Transaksi sewa tanah ialah perjanjian dimana pemilik tanah atau penguasa tanah, memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan tanah sebagai tempat berusaha, dengan menerima sejumlah uang sebagai sewa untuk waktu tertentu. Misalnya menyewa tanah milik orang lain untuk tempat berusaha, untuk membangun kedai, warung, depot minyak, tempat pangkas rambut, untuk membangun panglong kayu ramuan rumah, untuk bengkel pertukaran, untuk tempat penitipan barang dan lain sebagainya.
Di sumatera Selatan di masa pemerintahan marga territorial, apabila penduduk dari daerah marga lain, memasuki daerah marga dan membuka hutan untuk tempat berladang di daerah marga itu, maka ia harus membayar “sewa bumi” (Bali: ngupetenin, Ambon: sewa ewang) kepada pemerintah marga itu. Jika ia tidak membayar sewa bumi, maka ia melakukan pelanggaran adat yang disebut “maling utan” dan dapat dikenakan hukuman.
c) Perjanjian Terpadu
Apabila terjadi perpaduan antara perjanjian yang berjalan bersama. Dimana yang satu merupakan perjanjian pokok sedang yang lain adalah perjanjian tambahan, maka perjanjian tersebut adalah “perjanjian terpadu” atau “perjanjian ganda”. Misalnya terjadi perpaduan antara perjanjian jual gadai atau jual tahunan dengan perjanjian bagi hasil atau perjanjian sewa atau perjanjian lainnya. Jika misalnya X menggadaikan tanahnya kepada Y, kemudian X yang mengolah tanah itu dengan perjanjian bagi hasil dengan Y, maka perjanjian pokoknya adalah “gadai ganda” sedangkan perjanjian tambahannya adalah “bagi hasil”.
d) Tanah Sebagai Jaminan
Dalam hal ini kebanyakan terjadi dalam hubungan denga hutang –piutang uang atau barang yang nilai harganya agak besar. Misalnya A berhutang uang tunai padi yang nilainya sampai satu juta rupiah kepada B dengan memberikan jaminan tanah pekarangan. Apabila dikemudian hari ternyata A tidak dapat membayar hutangnya pada B, maka B dapat bertindak atas tanah jaminan (tanggungan) tersebut untuk memiliki tanah jaminan itu atas dasar jual-beli dengan A aatu menjual tanah jaminan itu kepada orang lain dengan memperhitungkan piutang kepada A. nilai harga tanah jaminan itu biasanya lebih tinggi dari besarnya hutang. Menurut perkiraan harga pasaran ketika perjanjian hutang diadakan.
e) Perjanjian Semu
Dikalangan masyarakat sering terjadi perjanjian semu. Yaitu suatu perjanjian yang dibuat atau yang terjadi, tidak sama dengan kenyataan yang berlaku sesungguhnya. Misalnya yang dikatakan kepada umum atau yang tertulis adalah perjanjian hutang tanpa bunga, tetapi yang berlaku sebenarnya berbunga, atau yang ditonjolkan adalah perjanjian jual-beli hasil bumi, tetapi sebenarnya adalah “melepas uang” (Lampung: ngakuk anduk) atau sistem “ijon” (ijoan), hasil bumi telah dibayar terlebih dahulu jauh sebelum masa panen atau dalam jual-beli barang dengan kuitansi kosong, atau dengan mencantumkan harga yang lebih rendah dari harga pasaran sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adat perekonomian adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana hubungan-hubungan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dikalangan rakyat jelata terutama di pedesaan, dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam perekonomian.
Tiap hukum merupakan suatu sistem, artinya kompleks normanya itu merupakan suatu kebulatan sebagai wujud kesatuan pikiran yang hidup di masyarakat. sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat. Sementara antara sistem hukum adat & sistem hukum barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental , misalnya:
1) Hukum barat mengenal zakelijke rechten & personal ijke rechten.
2) Hukum adat tidak mengenal pembagian hak.
Kemudian dalam penjelasan inipun dijelaskan hal-hal yang menyangkut dengan hukum adat perekonomian seperti:
1) Hak Kebenaran.
2) Kerjasama dan Tolong Menolong.
3) Usaha Perorangan
4) Transaksi Tanah
· Hak-hak atas Tanah
· Jual Lepas
· Jual Gadai
· Jual Tahunan
Dan macam-macam perjanjian yang terjadi pada masyarakat adat seperti:
a) Perjanjian Bagi Hasil
b) Perjanjian Sewa Tanah
c) Perjanjian Terpadu
d) Tanah Sebagai Jaminan
e) Perjanjian Semu
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Djojodigoeno, MM. Asas-asas Hukum Adat, JBP Gajah Mada, Yogyakarta; 1958
Sumber Elektronik
http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/ertikel-HAM/ Sept 03, 2009 @
10:40 pm
8:54 pm