Daftar Blog Saya

Selasa, 26 Oktober 2010

Hukum Adat Waris


HUKUM ADAT WARIS

MAKALAH
Diajukan sebagai salah satu tugas terstruktur
pada mata kuliah Hukum Adat dalam Yurisprudensi.

Dosen I : Wawan Muhwan Hariri, SH
Dosen II : E. Hasbi Nassarudin, SH

Disusun oleh

Taufik Akbar
Ucup Supriatna
Zia Muhammad Ihya
Siska Silviani
: 208.301.247
: 208 301 249
: 208 301 262
: 208 301 246












IH-C SEMESTER V
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2010


KATA PENGANTAR
Segala puji dan puncak kekaguman serta keagungan hanya tertuju kepada Allah SWT. Dialah yang telah menganugrahkan Al-Qur’an sebagai Hudan Li An-nas, Rahmatan lil Al-alamin, Dialah yang Maha Mengetahui makna dan maksud kandungannya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi besar Muhammad SAW sebagai manusia pilihan-NYA. Dialah Rasulullah sebagai penyampai, pengamal serta penafsir pertama dan utama terhadap Al-Qur’anul Karim.
Dengan pertolongan dan hidayah-NYA-lah makalah tentang “Hukum Adat Waris” ini dapat penulis susun dan selesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan. Dan Terima Kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu tersusunnya makalah ini. Makalah ini kami susun untuk menambah pengetahuan mengenai Hukum khususnya dalam hal ini adalah Hukum Adat.
Dalam menyajikan pembahasan, penulis menyadari sepenuhnya bahwa  pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan baik dari redaksi maupun segi pembahasan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun serta menjadikan pembuatan makalah berikutnya lebih baik lagi.
Semoga pembuatan makalah ini membawa efek positif pada pemahaman mengenai Hukum Adat yang telah penulis pelajari. Akhir kata penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan pembuatan makalah ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb
                                                                                                     
Penyusun





DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................................  i
Daftar Isi ..................................................................................................  ii

BAB I   PENDAHULUAN .....................................................................  1
  1. Latar Belakang Masalah ......................................................................  1
  2. Identifikasi Masalah ............................................................................  2

BAB III PEMBAHASAN .......................................................................  3
  1. Pengertian Hukum Waris .....................................................................  3
  2. Sistem Kewarisan Adat dan Pembagiannya ........................................  5

BAB IV PENUTUP ................................................................................  10
  1. Kesimpulan........................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................  12



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Hukum warisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan ketentuan Pasal 163 IS jo. Pasal 131 IS.
Golongan penduduk tersebut terdiri dari :
1)     Golongan Eropa & yang dipersamakan dengan mereka.
2)     Golongan Timur Asing Tionghoa & Non Tionghoa.
3)     Golongan Bumi Putera.
Berdasarkan peraturan Perundang-undangan RI. UU No. 62 Tahun 1958 & Keppers No. 240 Tahun 1957 pembagian golongan penduduk seperti diatas telah dihapuskan. Dan tentang hukum waris ini dapat dilihat di dalam Hukum Kewarisam Islam, Hukum Adat & Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik & ciri khas masing-masing yang mengakibatkan terjadinya perbedaan antara yang satu dengan lainnya.
Namun demikian apabila berbicara persoalan hukum waris, maka tidak terlepas dari 3 (tiga) unsur pokok yaitu ; adanya harta peninggalan atau kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris yaitu orang yang menguasai atau memiliki harta warisan & adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan atau penerusan atau pembagian harta warisan. Tidat selamanya mendengar & menguraikan tentang hukum waris, kita teringat kepada seorang yang telah meninggal dunia & meninggalkan harta pusaka yang langsung dapat dibagi-bagikan kepada seluruh ahli waris untuk dapat memiliki & dikuasai secara bebas, tetapi adakalanya terjadi pewaris dalam arti penunjukan atau penerusan harta kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup.
Demikianlah corak khas dari hukum waris bangsa Indonesia yang selama ini berlaku, dimana terdapat beberapa titik persamaannya. Untuk bidang hukum waris adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari susunan kekeluargaan/kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut antara lain :
1)      Pertalian keteurunan menurut garis laki-laki (Patrilineal).
Contoh : Umpamanya : Batak, Bali, Ambon.
2)      Pertalian keturuman menrut garis perempuan (matrilineal).
Contoh : Minangkabau, Kerinci (Jambi), Semendo-(Sumetera Selatan).
3)      Pertalian keturunan menurut garis Ibu & bapak (Parental/Bilateral).
Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan (Dayak), dll.
Dari itulah, untuk mendapatkan informasi/gambaran tentang hukum waris adat yang berlaku di Indonesia saat ini, segera akan dibahas pada uraian berikutnya.

B.       Identifikasi Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan hukum waris adat?
2.      Bagaimanakan sistem kewarisan adat dan pembagiannya?
















BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Hukum Waris.
Seperti yang telah terurai dalam pendahuluan, bahwa hukum waris di Indonesia masih beraneka warna coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk teramasuk kepada hukumnya masing-masing, antara lain hal ini dapat dilihat pada golongan masyarakat yang beragama islam kepadanya diberlakukan hukum kewarisan islam, baik mengenai tatacara pembagian harta pusaka, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, anak angkat, lembaga peradilan yang berhak memeriksa & memutuskan sengketa warisan apabila terjadi perselisihan diantara para ahli waris dan lain sebagainya.
Untuk golongan masyarakat non muslim, mereka tunduk kepada hukum adatnya masing-masing yang masih dipengaruhi oleh unsur-unsur agama & kepercayaan. Begitu juga terhadap golongan eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, aturan tentang hukum waris ini aspirasinya separuhnya diserahkan kepada hukum perdata eropa (kitab undang-undang hukum perdata).
Dari penjelasan diatas, mengakibatkan pula terjadinya perbedaan tentang arti & makna hukum waris itu sendiri bagi masing-masing golongan penduduk. Artinya belum terdapat suatu keseragaman tentang pengertian & makna hukum waris sebagai suatu standard hukum (pedoman) serta pegangan yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia . Namun demikian semua pihak bersepakat bahwa apabila berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3 (tiga) unsur pokok yakni :
1)      Adanya harta peninggalan (kekayaan) pewaris yang disebut warisan.
2)      Adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan & mengalihkan atau meneruskannya, dan
3)      Adanya ahli waris yaitu orang yang menerima pengalihan (penerusan) atau pembagian harta warisan itu .
Untuk membedakan hukum waris dalam satu sistim hukum dengan hukum waris dalam sistem hukum lainnya, maka dalam hal ini digunakan istilah hukum waris adat. Istilah waris belum ada kesatuan arti, baik yang ditemui dalam kamus hukum maupun sumber lainnya. Istilah waris ada yang mengartikan dengan “harta peninggalan, pusaka atau hutang piutang yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia seluruh atau sebagian menjadi hak para ahli waris atau orang yang ditetapkan dalam surat wasiat”.
Selain itu ada yang mengartikan waris “yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal”.  Nampak ada perbedaan, disatu pihak mengartikan istilah waris dengan harta peninggalan dan dipihak lain mengartikan dengan orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut. Adanya perbedaan pendapat ini menunjukkan belum adanya keseragaman dalam bahasa hukum kita. Untuk mendapatkan suatu pengertian yang jelas perlu adanya kesatuan pendapat tentang suatu istilah tersebut. Untuk mencapai itu, usaha yang dilakukan adalah menelusuri secara etimologi.
Istilah waris berasal dari bahasa Arab yang diambil alih menjadi bahasa Indonesia, yaitu berasal dari kata “warisa” artinya mempusakai harta, “waris artinya ahli waris”. Waris menunjukkan orang yang menerima atau mempusakai harta dari orang yang telah meninggal dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari “Sabda Nabi Muhammad SAW. : Ana warisu manla warisalahu artinya saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris (H.R Ahmad dan Abu Daud)”.
Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan kepada warisnya. Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta waris (Warisan), waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan penerusan harta waris dari pewaris kepada warisnya.
Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat, seperti Ter Haar, Soepomo, Iman Sudiyat, Soerojo Wignyodipoero dan Hilman Hadikusuma.
Menurut Ter Haar BZN :
“Hukum Waris Adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immateriel dari turunan keturunannya”.
Menurut Soepomo :
“Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.
Menurut Soerojo Wignyodipoero :
“Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya”.[1]
Menurut Iman Sudiyat :
“Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus/pengoperan dan peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke generasi”.
Menurut Hilman Hadikusuma :
“Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris”.
                             
B.       Sistem Kewarisan Adat dan Pembagiannya.
Hukum Waris Adat memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan pengusaha dan pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris.
Tata cara pengalihan atau penerusan harta kekayaan pewaris kepada ahli waris menurut hukum adat dapat terjadi penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris. Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip (azas umum), diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka, kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.
b.      Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.
c.       Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dari ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.
d.      Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana hak da kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (Kandung).[2]
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya . Menurut adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah atau selamatan yang disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi, maka yang menjadi juru bagi, dapat ditentukan antara lain :
1)      Orang lain yang masih hidup (janda atau duda dari pewaris) atau
2)      Anak laki-laki tertua atau perempuan.
3)      Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksan.
4)      Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang minta, ditunjuk dan dipilih oleh para ahli waris.[3]
Apabila terjadi konflik (perselisihan), setelah orang tua yang maish hidup, anak lelaki atau perempuan tertua, serta anggota keluarga tidak dapat menyelesaikannya walaupun telah dilakukan secara musyawarah/mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan campur tangan pengetua adat atau pemuka agama. Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan matematika (angka), tetapi selalu didasarkan atau pertimbangan mengingat wujud banda dan kebutuhan ahli waris yang bersangkutan. Jadi walau hukum waris adat mengenal azas kesamaan hak, tidak berarti bahwa setiap ahli waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah ditentukan.
Tatacara pembagian itu ada 2 (dua) kemungkinan yaitu :
1.      Dengan cara segendong sepikul, Artinya bagian anak lelaki dua kali lipat bagian anak perempuan. Atau
2.      Dengan cara dum dum kupat, Artinya dengan anak lelaki dan bagian anak perempuan seimbang (sama).[4]
Kebanyakan yang berlaku adalah yang pembagian berimbang sama diantara semua anak. Demikianlah corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia yang berbeda dengan Hukum Islam . Ini semua setelah dari latar belakang alam fikiran bangsa indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhinika Tunggal Ika, yang didasarkan pada kehidupan bersama, bersifat tolong menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian. Untuk membandingkan antara hukum waris adat dengan hukum kewarisan Islam. Dibawah ini dapat dilihat beberapa perbedaan antara lain :
a)      Harta warisan menurut hukum waris adat yang tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dibagi atau dapat dibagi menurut jenis dan macamnya dan kepentingan para ahli waris.
Harta warisan adat tidak boleh dijual segabai kesatuan dan uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada ahli waris menurut ketentuan yang berlaku :
a)      Didalam hukum waris Islam, harta peninggalan pewaris langsung dibagibagi kepada sesama ahli waris yang tidak berhak berdasarkan ilmu faraidh.
b)      Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemiliknya kepada para ahli waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para ahli waris, tidak boleh dimiliki secara perorangan, tetapi dapat dipakai dan dinikmati. Kemudian dia dapat digadaikan jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para pengetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan harta warisan yang terbagi, kalau akan dialihkan (dijual) oleh para ahli waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat antara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan dalam kerukunan kekerabatan.
c)      Hukum waris adat tidak mengenal azas “Legitieme Portie” atau bagian mutlak.
d)     Hukum kewarisan Islam telah menetapkan hak-hak dan bagian para ahli waris atas harta peninggalan pewaris sebagaimana yang telah dtentukan al-Qur‘an dalam Surah Annisa.
e)      Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada ahli waris. Jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaan untuk dapat cara bermusyawarah dan mufakat para ahli waris lainnya.



























BAB III
PENUTUP


Beberapa pendapat dari para ahli hukum adat, mengenai pengertian hukum adat seperti Ter Haar, Soepomo, Iman Sudiyat, Soerojo Wignyodipoero dan Hilman Hadikusuma.
Menurut Ter Haar BZN :
“Hukum Waris Adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immateriel dari turunan keturunannya”.
Menurut Soepomo :
“Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.
Menurut Soerojo Wignyodipoero :
“Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya”.
Menurut Iman Sudiyat :
“Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus/pengoperan dan peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke generasi”.
Menurut Hilman Hadikusuma :
“Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris”.
Tata cara pengalihan atau penerusan harta kekayaan pewaris kepada ahli waris menurut hukum adat dapat terjadi penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris. Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip (azas umum), diantaranya adalah sebagai berikut :
a.       Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka, kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.
b.      Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.
c.       Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai ahli waris dari ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.
d.      Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana hak da kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (Kandung).








DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, S.H.., 1984, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik
Indonesia, Jakarta, Cendana Press
Datuk Usman, 1992, Diktat Hukum Adat II, tetap dipakai dalam lingkungan
sendiri di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Hadikusuma, Hilman, Prof., S.H., 1993, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya
Bakti, Bandung.
Hartono, Sumarjati,Dr.,S.H., 1989, Dari Hukum Antar Golongan ke Hukum Antar
Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Koesno, Moh, Prof, Dr, S.H., 1992, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum
Bag. I (Historis), Bandung, Mandar Maju.
Muhammad, Bushar, Prof,S.H.,1986, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar,
Jakarta, Pradnya Paramita.
Soepomo, R, Prof, Dr, S.H., 1966, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta,
Universitas.
Subekti, R, Prof, S.H., 1983, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung, Bandung, Alumni
Sudiyat, Iman, Prof,S.H., 1981, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar,
Yogyakarta, Liberty.
Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Nopember 1961
No. 179/K/Sip/1961 tentang persamaan hak antara anak laki-laki dengan
anak perempuan dalam pembagian Harta Warisan menurut Hukum Adat.
Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 302/K/Sip/1960, tanggal 2
Nopember 1960, tentang Hukum Adat diseluruh Indonesia memberi hak
dan kedudukan kepada janda untuk mewarisi harta bersama (Gono Gini)
dan harta asal suami.


[1] Soerojo Wignyodpoero, Pengantar Hukum Adat, Pradnya Paramita; jakarta. 1985, hlm. 161
[2] Datuk Usman, Diktat Hukum Adat II, tetap dipakai dalam lingkungan  sendiri di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. 1992, hlm. 157-160
[3] Hadikusuma, Hilman, Prof., S.H., , Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti; Bandung, 1993, hlm. 104-105
[4] Ibid, hlm. 106

1 komentar: