Daftar Blog Saya

Senin, 01 November 2010

Makalah Hukum Adat


HUKUM ADAT PEREKONOMIAN


MAKALAH
Diajukan sebagai tugas
pada mata kuliah Hukum Adat.

Dosen I : Wawan Muhwan Hariri, SH
Dosen II : E.Hasbi Nazzarudin, SH.



 









Disusun oleh :


TAUFIK AKBAR
208.301.247









IH-C SEMESTER III
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2009

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman kuno (pra-hindu). Adat istiadat yang sudah hidup dalam masyarakat pra-hindu tersebut menurut ahli hukum merupakan adat melayu–polensia, yang lambat laun datang dikepulauan kita ini yang memiliki kultur hindu, kemudian datanglah kultur islam & kristen yang mempengaruhi kultur asli yaitu adat istiadat yang dahulu pernah ada pada zaman hindu dan pra-hindu.
Pada awal sebelum abad ke-19, hukum adat di identikan dengan hukum agama yang dalam bahasa belanda godsdiens tigeweten selaras dengan pendapat Van Den Breg yang memperkenalkan teori receptia in complexto, yang menyatakan bahwa hukum adat golongan hukum masyarakat merupakan receptie seluruh agama yang dianut masyarakat .
Tiap hukum merupakan suatu sistem, artinya kompleks normanya itu merupakan suatu kebulatan sebagai wujud kesatuan pikiran yang hidup di masyarakat. sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat. Sementara antara sistem hukum adat & sistem hukum barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental , misalnya:
1)      Hukum barat mengenal zakelijke rechten & personal ijke rechten.
2)      Hukum adat tidak mengenal pembagian hak.
Lain hal itu pula terdapat hukum adat yang mengatur berbagai sendi dari kehidupan bermasyarakat, seperti hukum yang mengatur perekonomian masyarakat adat dan disebut sebagai hukum adat perekonomian. Dalam makalah ini akan dijelaskan seperti apa hukum adat tersebut dan hal apa sajakah yang terdapat dalam hukum adat perekonomian.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka kami dapat merumuskan masalah dalam karya tulis ini, sebagai berikut:
1.      Pengertian Hukum adat?
2.      Hal-hal apa saja yang terdapat dalam hukum adat perekonomian?

C.    Tujuan Penulisan
      Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah; untuk mengetahui apa pengertian hukum adat dan apasajakah yang termasuk didalamnya. Selain itupun kita dapat mengetahui bagaimana macam-macam dan pembagian hukum adat itu sendiri.

D.    Manfat Hasil Penulisan
Semoga hasil penulisan dari makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis khususnya, karena pada dasarnya kita semua adalah seorang yang masih membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan untuk mengetahui segala hal yang ada di dalam kehidupan kita.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Hukum adat perekonomian adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana hubungan-hubungan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dikalangan rakyat jelata terutama di pedesaan, dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam perekonomian.

B.     Hal-Hal Yang Terdapat Dalam Hukum Adat Perekonomian.
1)      Hak Kebenaran.
Jika seorang penduduk desa ditanyakan, ini rumah siapa?, ia akan menjawab “rumah saya”, walaupun rumah itu, rumah orang tuanya atau rumah keluarganya. Jawaban tersebut tidak langsung menunjukan pengertian “hak milik mutlak” sehingga ia bebas melakukan perbuatan hukum terhadap rumah itu. Jika ia akan berbuat atas hak miliknya itu ia harus berbicara terlebih dahulu dengan anggota keluarganya. Begitulah pengertian hak milik Indonesia yang berfungsi sosial.
            Hak atas bangunan rumah, atau juga tanaman tumbuhan, yang terletak diatas sebidang tanah, tidak selamanya merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu ada kemungkinan seseorang memiliki bangunan rumah atau tanaman tumbuhan yang terletak diatas tanah milik orang lain, atau milik kerabat atau milik desa. Jadi menurut hukum adat hak atas tanah terpisah dari hak atas bangunan atau juga hak atas tanam tumbuhan.
            Begitu pula hukum adat tidak membedakan antara barang tetap dan barang bergerak (roerende dan onroerende goederen). Bagi masyarakat Jawa misalnya dapat terjadi “adol ngebregi” (jual tetap) atau “adol bedol”.

2)      Kerjasama dan Tolong Menolong.
Dalam ekonomi pertanian ladang, jika penduduk akan membuka daerah perladangan, maka dalam melakukan pembukaan hutan, menebang pohon, menebas semak belukar, kemudian membakarnya, dilakukan bersama dan tolong-menolong. Setelah hutan dibersihkan, maka tanah perladangan itu dibagi-bagi bidangnya kepada para peserta kerjasama.
Di sumbawa berlaku adat kerjasama tolong-menolong dalam usaha pertanian, yang disebut “nulong”, “saleng tulong” dan “basiru”. “nulong” artinya kerjasama tolong-menolong dengan balas jasa, misalnya dalam menuai padi, setelah selesai maka anggota peserta mendapat seikat padi atau sejumlah uang, dan para peserta yang menolong diberi makan siang. “Saleng tulong” adalah kerjasama tolong-menolong tanpa balas jasa, para peserta hanya diberi makan siang dengan lauk-pauk yang istimewa. “basiru” adalah kerjasama tolong-menolong dengan balas jasa berupa pemberian uang atau padi para peserta, tetapi para peserta harus membawa makanan sendiri, kecuali memang telah dijanjikan ditanggung makan siang.
Kerjasama tolong-menolong yang sifatnya sosial keagamaan untuk keperluan membantu saudara atau tetangga yang menderita kecelakaan, kebakaran, sakit, kematian dan lainnya, agaknya berlaku di berbagai daerah. Begitu pula pemberian sumbangan bagi kerabat kerabat tetangga yang mengadakan hajatan sunatan, cukuran dan perkawinan. Apabila kerjasama tolong-menolong itu ditunjukan untuk kepentingan umum, seperti perbaikan jalan, tempat ibadah, balai desa dan lain-lainnya, yang mengerahkan tenaga kerja yang banyak dan dipimpin oleh perangkat desa disebut “gotong-royong”.

3)      Usaha Perorangan
Apa yang duraikan diatas tadi adalah mengenai kerjasama tolong-menolong yang bersifat dan dilaksanakan berkelompok, baik untuk waktu yang sementara maupun untuk waktu yang lama. Kemudian yang dimaksud dengan usaha perorangan adalah perbuatan perorangan, yaitu dengan perbuatan menyerahkan atau mengerjakan sesuatu oleh orang satu dan orang yang lain dan berlaku timbal-balik. Misalnya yang disebut :
a)      Beri-memberi
b)      Pakai-memakai
c)      Jual-beli
d)     Titip-menitip
e)      Hutang-piutang
f)       Kerja-mengerjakan

4)      Transaksi Tanah
Khusus mengenai usaha perorangan dalam hubungannya dengan bidang tanah (hak-hak atas tanah) dibicarakan tentang perbuatan yang bersifat sepihak, seperti pembukaan tanah, dan perbuata dua pihak seperti transaksi tanah.
Terjadinya hak milik atas tanah misalnya dikarenakan perorangan dengan keluarganya membuka tanah hutan untuk tanah peladangan, sampai menjadi tempat usaha yang tetap dengan penanaman tanaman tumbuhan. Sehingga menjadi tempat kedamaian sementara yang disebut “susukau” itu merupakan perbuatan sepihak, yang menimbulkan hak atas tanah bagi yang membukanya.

a)      Hak-hak atas Tanah
Di beberapa daerah orang membuka tanah dimulai dengan memberi tanda “mebali” yaitu tanda akan membuka tanah. Tanda-tanda itu biasanya berupa tanda silang atau lingkungan rotan atau bambu yang dipisahkan diatas pohon, atau berupa dahan kayu yang diikat dengan rotan atau tali ijuk yang ditegakkan tegan dan nampak dari kejauhan. Dengan memberi tanda tersebut timbul hak untuk mengusahakan sebidang tanah (Hak membuka tanah).
Apabila tanah tersebut terus dibuka dan dijadikan tanhah peladangan yang ditanami palawija dan lainnya, maka terjadilah hak pakai atau hak mengusahakan tanah. Apabila tanah tersebut tidak diteruskan mengerjakannya, sedangkan tanda mebali masih terpasang diatas pohon, maka yang ada adalah “hak atas pohon”. Untuk menjadikan tanah itu hak milik, maka tanah lading itu harus dikerjakan terus-menerus, tetapi jika tanah peladangan itu ditinggalkan terbelangkai menjadi semak belukar atau menghutang kembali. Maka hak miliknya hilang dan yang ada adalah “hak utama” untuk mengusahakannya kembali. Hak utama ini akan hilang apabila bidang tanah tersebut telah menghutan, dan tanah itu akan kembali “hak ulayat” desa. Hak milik atas tanah peladadangan dapat ditingkatkan menjadi “hak milik tetap” apabila diatas tanah itu ditanami tanam tumbuhan berupa tanaman keras yang rapat sehingga menjadi tanah kebun.
Dikalangan masyarakat adat jarang terjadi pemilik tanah menyewakan tanahnya kepada orang lain di pedesaan. Yang banyak berlaku adalah “hak numpang” atas tanah milik orang lain, dengan membangun perumahan sebagai tempat kediaman, atau menumpang untuk bertanam tumbuhan palawija, perbuatan ini disebut “tumpang sari”. Hubungan antara pemilik tanah dan penumpang bersifat kekeluargaan dengan beri-memberi, urus-mengurus, bantu-membantu.

b)     Jual Lepas
Kebanyakan dimasa lampau jual lepas tanah berlaku secara tertulis dibawah tangan, dengan atau tanpa kesaksian perangkat desa. Di masa sekarang jual lepas harus dengan kesaksian perangkat desa. Sifat jual lepas ini terang dan tunai, artinya terang diketahui tetangga dan kerabat, dan dilakukan pembayarannya.
Adakalanya jual lepas tersebut disepakati dengan perjanjian bahwa penjual diberi hak utama membeli kembali, atau pembeli jika akan menjual lagi tanah itu harus memberi tahu dahulu kepada penjual tanah semula apakah ia akan membeli kembali tanah tersebut, jual beli tanah seperti ini disebut “jual kurung”, yang biasa terjadi dikalangan kerabat atau tetangga yang mempunyai hubungan akrab.
Dalam perjanjian jual lepas seringkali terjadi sebelum ijab-kabul (serah-terima) jual beli dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua pihak, pihak pembeli memberikan “panjer” atau “persekot” (voorschot) sebagai tanda jadi. Panjer atau persekot itu bisa berupa sejumlah uang yang diterima penjual dari pembeli. Apabila dikemudian hari perjanjian batal karena kesalahan penjual maka ia harus mengembalikan panjer dua kali lipat kepada pembeli, sebaliknya jika kesalahan itu dari pihak pembeli sehingga perjanjian itu batal maka panjer hilang. Lain halnya dengan persekot yang merupakan pembayaran pendahuluan dari pembeli kepada penjual. Yang akan dipotong dari pembayaran harga pembelian keika pelunasan pembayaran dilakukan.

c)      Jual Gadai
Transaksi tanah yang disebut “jual gadai” (Jawa; adol sende, Sunda; ngajual akad/gade) adalah penyerahan tanah oleh penjual kepada pembeli dengan harga tertentu dan dengan hak menebusnya kembali. Dalam hal ini sebenarnya yang dijual bukan hak milik atas tanah, tetapi hak menguasai tanah, dimana pembeli selama tanah dikuasainya ia dapat memakai, mengolah dan menikmati hasil dari tanah gadaian itu. Selama tanah itu belum ditebus oleh pemilik tanah/penggadai, maka tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai/pembeli gadai.
Menurut hukum adat pemegang gadai tidak mampu menuntut pemilik tanah untuk menebus kembali tanah yang ia gadaikan, oleh karenanya jika pemegang gadai membutuhkan uang ia dapat menempuh dua jalan yaitu dengan “mengalihkan gadai” (onderverpanding). Yang dimaksud “mengalihkan gadai” ialah menggadaikan tanah itu lagi kepada orang lain atas persetujuan pemilik tanah, sehingga hubungan hukum antara pemilik tanah dengan pemegang gadaian pertama beralih kepada pemegang gadai kedua. Sedangkan yang dimaksud “mengganakkan gadai” adalah pemegang gadai pertama menggadaikan kembali tanah itu kepada penggadai kedua tanpa persetujuan pemilik tanah. Jadi hubungan hukum berlaku antara pemegang gadai pertama dengan pemegang gadai kedua.
Menurut pasal 7 PP pengganti UU No. 56 tahun 1960 dikatakan “barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai sejak berlakunya peraturan ini (yaitu tanggal 26 Desember 1960) sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemilik dalam waktu satu bulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan dan barang siapa melanggar, maka dapat dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-“.

d)     Jual Tahunan
Transaksi tahunan terjadi apabila pemililk tanah menyerahkan tanahnya (sawah atau tegalan) kepada orang lain (penggarap) untuk beberapa tahun panen dengan menerima pembayaran terlebih dahulu dari penggarap. Setelah habis waktu tahun panen yang dijanjikan maka penggarap menyerahkan kembali tanah itu kepada pemiliknya. Biasanya jual tahunan itu berlaku untuk 1-3 tahun panen. Lama waktu tahun panen tergantung pada jenis tanaman yang digarap oleh penggarap. Tanaman jagung tahun panennya lebih singkat dari tanaman padi. Di beberapa daerah pedesaan orang jawa biasa menyebutnya “trowongan”, “kemplongan” atau “sewa tahunan”.

5)      Transaksi Menyangkut Tanah
Transaksi tanah sebagaimana diuraikan di atas adalah transaksi dimana tanah yang dijadikan objek perjanjian. Jadi bidang tanahnya yang ditransaksikan, sedangkan transaksi menyangkut tanah bukan bidang tanahnya yang menjadi objek perjanjian, melainkan kekaryaannya, pengolahannya atau dijadikan jaminan. Dengan demikian bidang tanah hanya tersangkut saja, bidang tanah seolah-olah hanya sebagai lampiran dari penjanjian pokok. Misalnya; “perjanjian bagi hasil”, “perjanjian sewa”, “perjanjian berpadu”, perjanjian semu atau tanah sebagai jaminan.

a)      Perjanjian Bagi Hasil
Apabila pemilik tanah membuat perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan tanah, mengolah dan menanami tanaman, dengan perjanjian bahwa hasil dari tanah itu dibagi dua (Jawa: maro, Periangan: nengah, Sumatera: pardua, Sulawesi Selatan: tesang, Minahasa: toyo), maka perjanjian demikian itu disebut “perjanjian bagi hasil”. Jika hasil itu dijanjikan dibagi tiga, maka disebut “pertiga” (Jawa: mertelu, Periangan: jejuron). Dengan perjanjian bagi bidang tanahnya, sehingga penggarap yang tadinya tidak memiliki tanah garapan menjadi pemilik tanah pula.
b)     Perjanjian Sewa Tanah
Transaksi sewa tanah ialah perjanjian dimana pemilik tanah atau penguasa tanah, memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan tanah sebagai tempat berusaha, dengan menerima sejumlah uang sebagai sewa untuk waktu tertentu. Misalnya menyewa tanah milik orang lain untuk tempat berusaha, untuk membangun kedai, warung, depot minyak, tempat pangkas rambut, untuk membangun panglong kayu ramuan rumah, untuk bengkel pertukaran, untuk tempat penitipan barang dan lain sebagainya.
Di sumatera Selatan di masa pemerintahan marga territorial, apabila penduduk dari daerah marga lain, memasuki daerah marga dan membuka hutan untuk tempat berladang di daerah marga itu, maka ia harus membayar “sewa bumi” (Bali: ngupetenin, Ambon: sewa ewang) kepada pemerintah marga itu. Jika ia tidak membayar sewa bumi, maka ia melakukan pelanggaran adat yang disebut “maling utan” dan dapat dikenakan hukuman.

c)      Perjanjian Terpadu
Apabila terjadi perpaduan antara perjanjian yang berjalan bersama. Dimana yang satu merupakan perjanjian pokok sedang yang lain adalah perjanjian tambahan, maka perjanjian tersebut adalah “perjanjian terpadu” atau “perjanjian ganda”. Misalnya terjadi perpaduan antara perjanjian jual gadai atau jual tahunan dengan perjanjian bagi hasil atau perjanjian sewa atau perjanjian lainnya. Jika misalnya X menggadaikan tanahnya kepada Y, kemudian X yang mengolah tanah itu dengan perjanjian bagi hasil dengan Y, maka perjanjian pokoknya adalah “gadai ganda” sedangkan perjanjian tambahannya adalah “bagi hasil”.

d)     Tanah Sebagai Jaminan
Dalam hal ini kebanyakan terjadi dalam hubungan denga hutang –piutang uang atau barang yang nilai harganya agak besar. Misalnya A berhutang uang tunai padi yang nilainya sampai satu juta rupiah kepada B dengan memberikan jaminan tanah pekarangan. Apabila dikemudian hari ternyata A tidak dapat membayar hutangnya pada B, maka B dapat bertindak atas tanah jaminan (tanggungan) tersebut untuk memiliki tanah jaminan itu atas dasar jual-beli dengan A aatu menjual tanah jaminan itu kepada orang lain dengan memperhitungkan piutang kepada A. nilai harga tanah jaminan itu biasanya lebih tinggi dari besarnya hutang. Menurut perkiraan harga pasaran ketika perjanjian hutang diadakan.

e)      Perjanjian Semu
Dikalangan masyarakat sering terjadi perjanjian semu. Yaitu suatu perjanjian yang dibuat atau yang terjadi, tidak sama dengan kenyataan yang berlaku sesungguhnya. Misalnya yang dikatakan kepada umum atau yang tertulis adalah perjanjian hutang tanpa bunga, tetapi yang berlaku sebenarnya berbunga, atau yang ditonjolkan adalah perjanjian jual-beli hasil bumi, tetapi sebenarnya adalah “melepas uang” (Lampung: ngakuk anduk) atau sistem “ijon” (ijoan), hasil bumi telah dibayar terlebih dahulu jauh sebelum masa panen atau dalam jual-beli barang dengan kuitansi kosong, atau dengan mencantumkan harga yang lebih rendah dari harga pasaran sebenarnya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa hukum adat perekonomian adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bagaimana hubungan-hubungan hukum yang berlaku dalam masyarakat, dikalangan rakyat jelata terutama di pedesaan, dalam usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam perekonomian.
Tiap hukum merupakan suatu sistem, artinya kompleks normanya itu merupakan suatu kebulatan sebagai wujud kesatuan pikiran yang hidup di masyarakat. sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat. Sementara antara sistem hukum adat & sistem hukum barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental , misalnya:
1)      Hukum barat mengenal zakelijke rechten & personal ijke rechten.
2)      Hukum adat tidak mengenal pembagian hak.
Kemudian dalam penjelasan inipun dijelaskan hal-hal yang menyangkut dengan hukum adat perekonomian seperti:
1)      Hak Kebenaran.
2)      Kerjasama dan Tolong Menolong.
3)      Usaha Perorangan
4)      Transaksi Tanah
·         Hak-hak atas Tanah
·         Jual Lepas
·         Jual Gadai
·         Jual Tahunan
Dan macam-macam perjanjian yang terjadi pada masyarakat adat seperti:
a)      Perjanjian Bagi Hasil
b)      Perjanjian Sewa Tanah
c)      Perjanjian Terpadu
d)     Tanah Sebagai Jaminan
e)      Perjanjian Semu






























DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku
Djojodigoeno, MM. Asas-asas Hukum Adat, JBP Gajah Mada, Yogyakarta; 1958


Sumber Elektronik
8:54 pm

Artikel Suku Baduy Banten


TUGAS ARTIKEL
SUKU BADUY BANTEN
Nama               : Taufik Akbar
NIM                : 208.301.247
Kls/Smt           : Ilmu Hukum-C/III
Mata Kuliah    : Hukum Adat

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “Orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Menyimak cerita rakyat khususnya di wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak umumnya sewilayah Banten maka suku Baduy berasal dari 3 tempat sehingga baik dari cara berpakaian, penampilan serta sifatnyapun sangat berbeda.
I.           Berasal dari Kerajaan Pajajaran/Bogor.
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, Priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah Prabu Bramaiya Maisatandraman dengan gelar Prabu Siliwangi. Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy  “Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang, malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua” Artinya : jauh tidak menentu yang tuju (Jugjug), berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan. Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampung Cibeo (Baduy Dalam) dengan cirri-ciri: berbaju putih hasil jaitan tangan (baju sangsang), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua (tenunan sendiri) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara (seperlunya) tapir amah, kuat terhadap hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
II.        Berasal dari Banten Girang/Serang.
Menurut cerita yang menjadi senopati di Banten pada waktu itu adalah putra dari Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Seda dengan gelar Prabu Pucuk Umun setelah Cirebon dan sekitarnya dikuasai oleh Sunan Gunung Jati, maka beliau mengutus putranya yang bernama Sultan Hasanudin bersama para prajuritnya untuk mengembangkan agama Islam di wilayah Banten dan sekitarnya. Sehingga situasi di Banten Prabu Pucuk Umun bersama para ponggawa dan prajurutnya meninggalkan tahta di Banten memasuki hutan belantara dan menyelusuri sungai Ciujung sampai ke Hulu sungai, maka tempat ini mereka sebut Lembur Singkur Mandala Singkah yang maksudnya tempat yang sunyi untuk meninggalkan perang dan akhirnya tempat ini disebut GOA/Panembahan Arca Domas yang sangat di keramatkan.
Keturunan ini yang kemudian menetap di kampung Cikeusik (Baduy Dalam) dengan Khas sama dengan di kampung Cikeusik yaitu : wataknya keras, acuh, sulit untuk diajak bicara (hanya seperlunya), kuat terhadap hukum adat, tidak mudah menerima bantuan orang lain yang sifatnya pemberian, memakai baju putih (blacu) atau dari tenunan serat daun Pelah, ikat kepala putih memakai sarung tenun biru tua (diatas lutut).
III.     Berasala dari Suku Pangawinan (campuran).
Yang dimaksud suku Pengawinan adalah dari percampuran suku-suku yang pada waktu itu ada yang berasal dari daerah Sumedang, Priangan, Bogor, Cirebon juga dari Banten. Jadi kebanyakan mereka itu terdiri dari orang-orang yang melangggar adat sehingga oleh Prabu Siliwangi dan Prabu Pucuk Umun dibuang ke suatu daerah tertentu. Golongan inipun ikut terdesak oleh perkembangan agama Islam sehingga kabur terpencar kebeberapa daerah perkampungan tapi ada juga yang kabur kehutan belantara, sehingga ada yang tinggal di Guradog kecamatan Maja, ada yang terus menetap di kampung Cisungsang kecamatan Bayah, serta ada yang menetap di kampung Sobang dan kampung Citujah kecamatan Muncang, maka ditempat-tempat tersebut di atas masih ada kesamaan cirikhas tersendiri.
Adapun sisanya sebagian lagi mereka terpencar mengikuti/menyusuri sungai Ciberang, Ciujung dan sungai Cisimeut yang masing-masing menuju ke hulu sungai, dan akhirnya golongan inilah yang menetap di 27 perkampungan di Baduy Panamping (Baduy Luar) desa Kanekes kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak dengan cirri-cirinya; berpakaian serba hitam, ikat kepala batik biru tua, boleh bepergian dengan naik kendaraan, berladang berpindah-pindah, menjadi buruh tani, mudah diajak berbicara tapi masih tetap terpengaruh adanya hukum adat karena mereka masih harus patuh dan taat terhadap hukum adat.
Dari suku Baduy panamping pada tahun 1978 oleh pemerintah diadakan proyek PKMT (Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing) yang lokasinya di kampung Margaluyu dan Cipangembar desa Leuwidamar kecamatan Leuwidamar dan terus dikembangkan oleh pemerintah proyek ini di kampung Kopo I dan II, kampung Sukamulya dan kampung Sukatani desa Jalupangmulya kecamatan Leuwidamar . Suku Baduy panamping yang telah dimukimkan inilah yang disebut Baduy Muslim, dikarenakan golongan ini telah memeluk agama Islam, bahkan ada yang sudah melaksanakan rukun Islam yang ke 5 yaitu memunaikan ibadah Haji.

Wilayah
Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LU dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300–600 M di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20°C.

Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes ‘dalam’ tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Asal-usul
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’ yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitann=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari ‘pikukuh’ (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apapun”, atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya pun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Kelompok-kelompok dalam masyarakat Kanekes
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Apabila Baduy Dalam dan Baduy Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Baduy Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

Mata pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.