Daftar Blog Saya

Jumat, 03 Desember 2010

Analisis PEMBAGIAN HARTA PERKAWINAN SETELAH PERCERAIAN MENURUT HUKUM ADAT DI DAERAH BOJONEGORO

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai beberapa bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak dahulu kala sebelum masuknya ajaran Islam, Hindu dan Kristen. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini sangat berpengaruh dalam sistem pewarisan hukum adat.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada manusia dengan perantara nabi Muhammad SAW. yang mengandung beberapa ketentuan tentang “aqidah dan syari’ah” yang terdapat di dalam nas al-Qur’an dan membawa peraturan-peraturan yang semuanya itu mencakup segala aspek kehidupan manusia. Semua ini semata-mata untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan hidup bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Negara Indonesia yang mayoritas warganya adalah penganut agama Islam sudah barang tentu al-Qur’an merupakan pemberi informasi utama. Dimana informasi itu berupa norma-norma dan aturan-aturan yang menyangkut segala dimensi kehidupan manusia termasuk didalamnya informasi hukum kewarisan yang biasa disebut fara’id.
Sejak matinya seseorang seluruh harta benda miliknya beralih kepada ahli warisnya. Inilah yang disebut “adigium” (pepatah) Perancis yang berbunyi “le mort saisit le vit” artinya orang yang meninggal dunia itu dengan sendirinya beralih kepada ahli warisnya yang masih hidup.[1] Salah satu masalah pokok yang banyak dibicarakan oleh al-Qur’an adalah kewarisan. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok.
Oleh karena itu dalam mengaktualisasikan hukum kewarisan yang terdapat dalam al-Qur’an, maka eksistensinya harus dijabarkan dalam bentuk praktik faktualnya. Dalam hal ini, pelaksanaan hukum kewarisan harus kelihatan dalam sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat.[2] Dalam masalah warisan, wanita sama kedudukannya dengan laki- laki, wanita juga berhak mewarisi harta peninggalan si mayit. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an Surah an-Nisa ayat 7 yaitu :
ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ  
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.
Dalam pembahasan makalah ini penulis akan mencoba menganalisis sebuah kasus tentang Pembagian harta perkawinan setelah perceraian menurut Hukum Adat di daerah Bojonegoro yang telah menjadi sebuah Jurisprudensi Mahkamah Agung.
Menurut jurisprudensi Mahkamah Agung dalam hal terjadi perceraian barang gono-gini harus dibagi antara suami dan isteri dengan masing-masing mendapat separoh (diterapkan terhadap perkara antar bekas suami-isteri dari daerah Bojonegoro).
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-12-1959 No. 424 K/Sip/1959.  Dalam Perkara : Iskak lawan Mamlukah. dengan Susunan Majelis 1. R. Wirjono Prodjodikoro S.H; 2. Sutan Abdul Hakim SH; 3. R. Wirjono Kusumo SH. Kaidah/Pertimbangan Hukum diatas diterapkan pula antara lain dalam
Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-4-1960 No. 120 K/Sip/1960  mengenai perkara dari daerah Tebing Tinggi; Putusan tgl. 14-11-1962 No. 290 K/Sip/1962 mengenai perkara dari daerah Semarang ; Putusan tgl. 19-4-1961 No. 64 K/Sip/1961 mengenai perkara dari daerah Malang.

B.       Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut dapat di kemukakan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.     Apa pertimbangan hakim Pengadilan Agama Bojonegoro, dan Mahkamah Agung tentang pembagian harta perkawinan setelah perceraian?
2.     Bagaimana analisis hukum pembagian harta perkawinan setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974?

C.       Kajian Pustaka
Dalam hal ini penulis juga membahas tentang pembagian harta perkawinan setelah perceraian. Penulis mengangkat suatu kasus: dari sebuah Putusan Mahkamah Agung : tgl. 9-12-1959 No. 424 K/Sip/1959 mengenai pembagian harta perkawinan setelah perceraian, dan setelah itu penulis akan menjelaskan apa pertimbangan dan dasar hukum yang dipakai hakim Pengadilan Agama Bojonegoro dan Mahkamah Agung, dalam menyelesaikan perkara tersebut.

D.       Kegunaan Hasil Analisis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi disiplin keilmuan secara umum, dan sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk dua aspek yaitu:
1.     Aspek teoritis, sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum adat yang berkaitan dengan masalah pembagian harta perkawinan setelah perceraian.
2.     Aspek praktis, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi praktisi hukum di lingkungan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pembagian harta perkawinan setelah perceraian secara bijaksana.


BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Bojonegoro, dan Mahkamah Agung tentang Pembagian Harta Perkawinan Setelah Perceraian.

Hukum kewarisan merupakan hukum kekeluargaan yang didalamnya terdapat asas-asas yang dianggap mensifati hukum kewarisan Islam, adapun asasasas tersebut adalah:
1)      Asas Ijbari, bahwa para ahli waris memperoleh bagian harta sebagai harta peralihan dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya secara hukum tanpa rekayasa.
2)      Asas bilateral, bahwa kewarisan beralih dari kedua belah pihak garis keluarga.
3)      Asas individual, bahwa harta warisan yang sesuai dengan haknya.
4)      Asas keadilan yang berimbang, bahwa jumlah nilai bagian antara laki- laki dan perempuan mempunyai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.
5)      Asas akibat kematian, bahwa peralihan harta seseorang bagi ahli waris hanya berlaku setelah pewaris meninggal dunia.[3]
Dengan menggunakan hak kewarisan Islam yang bersumber dari wahyu Allah dalam al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW yang berlaku wajib ditaati oleh umat Islam, dulu, sekarang dan yang akan datang.[4] Bahwa dasar berlakunya hukum Islam di Indonesia sangat berpengaruh dalam pelaksanaan hukum kewarisan di Indonesia. Bahwa pada phase pemerintahan Hindia Belanda hukum Islam pertama kali di perlakukan sebagai hukum kepada bangsa Indonesia yang beragama Islam ialah berdasarkan dengan Regeerings Reglement (RR) berlakunya Undang-undang Islam bagi orang Indonesia ditegaskan dalam pasal 75 RR ayat 3 yang berbunyi sebagai berikut :
“Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diperlakukan Undang-undang agama (gods-di bhstige-wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.”[5]
Bahwa pengadilan merupakan salah satu simbol dari kekuasaan dan Pengadilan Agama Islam adalah simbol dari kekuasaan Islam, untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum Islam, wewenang Pengadilan Agama dapat mengadili sengketa tentang kewarisan.
Menurut Undang-undang Peradilan Agama No. 7 tahun 1989 dan Undangundang No. 3 tahun 2006 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989 pasal 51 yaitu:
“Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding” [6]
Dalam kasus perkara di Pengadilan Agama Bojonegoro dan Mahkamah Agung ini adalah merupakan kasus pembagian harta gono gini di mana dalam sengketa harta tersebut seorang istri mendapatkan bagian yang tidak seimbang dengan suaminya. Sedangkan suaminya hamper mendapatkan seluruh harta kekayaannya yang diperoleh dari perkawinannya tersebut. Di dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama memutuskan bahwa harta bersama tersebut harus dibagi rata. Sedangkan semua harta dikuasai oleh suaminya tersebut bersama ibunya. Selama perceraian harta kekayaan tersebut tidak dibagi rata oleh sang suami sehingga pemohon (istri) mengajukan hal tersebut  ke Pengadilan Agama Bojonegoro.

B.       Bagaimana Analisis Hukum Pembagian Harta Perkawinan Setelah Berlakunya UU No. 1 tahun 1974.

Hukum kewarisan yang ada dan berlaku dewasa ini disamping hokum perkawinan, maka hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan yang memegang peranan yang sangat penting. Bahkan menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat yang membahas masalah waris ini sangat banyak antara lain adalah skripsi Maulana Asfuroh Bhinawati 12 dalam skripsinya “Studi Komparasi Tentang Ahli Waris Pengganti Antara Hukum Islam Dan Hukum Perdata” (2002) yang intinya ahli waris pengganti menurut hukum Islam adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang digantikan itu, sebabnya ialah karena orang yang digantikan itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau orang itu masih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan ia telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka terjadi unifikasi dalam bidang perkawinan bagi seluruh warga negara Indonesia. Undang-Undang Perkawinan tersebut diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 bersamaan dengan saat berlakunya Peraturan Pelaksanaannya yakni PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dengan demikian terhadap perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan apabila terjadi sebelum 1 Oktober 1975, digunakan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan lama. Sebagaimana diketahui, sebelum Undang-Undang Perkawinan belum efektif, di Indonesia terdapat beraneka ketentuan yang mengatur tentang perkawinan di antaranya adalah Hukum Islam, Hukum Adat, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Peraturan perkawinan Bagi Golongan Indonesia Kristen (HOCI), Peraturan Perkawinan Campuran (Reglemennt Gemengde Huwelijken/RGH).
Sedangkan jika perkawinan dan hal yang berkaitan dengan perkawinan itu dilakukan setelah 1 Oktober 1975, maka dasar yang digunakan adalah ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan unifikasi hokum perkawinan di Indonesia yang cukup komprehensif. Namun sebagaimana diketahui bahwa masih ada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perkawinan belum mendapat pengaturannya dalam Undang-Undang Perkawinan ataupun dalam Peraturan Pelaksanaannya, sehingga belum berlaku secara efektif. Di antara ketentuan yang belum berlaku secara efektif tersebut adalah harta benda perkawinan, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, kedudukan anak dan perwalian. Terhadap ketentuanketentuan yang belum berlaku efektif tersebut, Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan memberi kemungkinan untuk memberlakukan ketentuan atau peraturan lama.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, Mahkamah Agung pada tanggal 20 Agustus 1975 mengeluarkan surat No. M.A/Pemb/0807/1975 tentang petunjuk-petunjuk MA mengenai Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 yang intinya menyebutkan bahwa untuk hal-hal yang belum diatur dalam PP, seperti : harta benda perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, serta perwalian, belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan sendirinya untuk hal-hal tersebut masih diperlakukan ketentuan ketentuan dan perundang-undangan lama. Terhadap surat MA tersebut, dalam kenyataan praktek berkembang dalam beberapa penafsiran, selain mendukung surat Mahkamah Agung tersebut, ada juga yang menafsirkan ahwa ketentuan harta perkawinan merupakan pasal jadi yang tidak memerlukan aturan pelaksanaannya.
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perkawinan merupakan suatu kejadian yang sangat penting dalam kehidupan seseorang. Bagi bangsa Indonesia ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sosial keduniawian, melainkan juga dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual, timbullah ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang menimbulkan akibat dalam berbagai bidang, meliputi hubungan lahiriah dan spiritual di antara mereka (suami-isteri) itu sendiri secara pribadi dan kemasyarakatan, serta hubungan antara mereka dengan harta kekayaan yang diperoleh sebelum selama, dan sesudah perkawinan.
Seorang laki-laki dan seorang wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada di antara mereka adalah ikatan lahiriah, rohaniah-spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri, maupun akibat berupa hubungan hukum di antara suami isteri yang berupa hak dan kewajiban. Apabila dalam perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak, maka anak tersebut mempunyai kedudukan sebagai anak sah. Selanjutnya ikatan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat sekitarnya.
Pengaturan tentang harta kekayaan perkawinan berbeda antara satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya. Menurut Hukum Islam, harta benda suami-isteri terpisah. Masing-masing suami isteri mempunyai harta benda sendiri-sendiri. Ketentuan Hukum Adat masyarakat Tionghoa (sebelum bagi mereka diberlakukan KUH Perdata, tanggal 1 Mei 1919) pada prinsipnya sama dengan ketentuan dalam Hukum Islam, yaitu masing-masing suami isteri memiliki harta kekayaan sendiri-sendiri. Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Adat Jawa Tengah dan Jawa Timur menentukan, harta bawaan (barang gawan) suami atau isteri menjadi milik masing-masing suami atau isteri yang membawa, sedang harta yang diperoleh selama perkawinan (harta gono-gini) menjadi harta bersama (milik bersama) suami isteri. Dengan demikian menurut ketentuan Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Adat Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalam suatu perkawinan terdapat tiga macam harta kekayaan, yaitu harta kekayaan milik pribadi suami, harta kakayaan milik pribadi isteri dan harta kekayaan milik bersama suami isteri. Ketentuan terakhir ini diikuti oleh UUP.
Dalam Pasal 35 UUP ditentukan:
(1)  Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
(2) Harta bawaan masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau watisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Tiga sistem hukum harta Kekayaan Perkawinan di atas (Hukum Islam, Hukum Adat Tionghoa, Hukum Adat Jawa Tengah/Jawa Timur) pada umumnya tidak memberi kemungkinan kepada suami isteri untuk mengatur harta kekayaan perkawinan mereka secara menyimpang dari ketentuanketentuan hukum. Hal demikian berbeda dengan ketentuan dalam KUH Perdata dan UUP.
Ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang menyangkut Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, termasuk dalam ketentuan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan. Oleh karena sampai saat sekarang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka ketentuan UUP tentang harta kekayaan perkawinan belum berlaku secara efektif.
Namun demikian beberapa sarjana hukum memberikan pandangan yang berbeda. Pendapat Mahadi yang menyatakan, bahwa Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 merupakan bahan jadi dan siap untuk dipakai.32 Masih berkaitan dengan hal di atas, Retnowulan Sutantio mengatakan, bahwa hukum yang mengatur harta benda dalam pekawinan, tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lagi dan dapat diterapkan, kemudian dikembangkan melalui yurisprudensi.
Pada dasarnya ada bermacam-macam sistem hukum harta kekayaan perkawinan di Indonesia, hal ini karena tiap-tiap sistem hokum mempunyai peraturan-peraturannya sendiri yang mengatur mengenai harta benda suami istri. Hal tersebut sebagaimana diatur di dalam Hukum Adat, Hukum Islam, dan KUHPerdata. Sementara itu Undang-Undang Perkawinan juga mengatur mengenai harta benda perkawinan, namun ketentuan tersebut belum diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya. Mengingat adanya beberapa sistem hukum yang mengatur secara berlainan harta kekayaan perkawinan, khususnya UUP dan KUH Perdata maka perlu ditentukan peraturan manakah yang berlaku sebagai hukum positif saat ini.

























DAFTAR PUSTAKA

Wignjodipuero, Soerojo, S.H, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, PT. Toko
Gunung Agung, Jakarta, 1967
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, Gemala Dewi,
Surabaya, 2001
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996
Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1984
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Yogyakarta, 1978
Djais, Mochammad, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2006
Hadikusumo, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju,
1990
Hasan, KN. Sofyan, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia,
Surabaya: Usaha Nasional, 1994





[1] Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, hlm. 2
[2] Ali Parman, Kewarisan Dalamal-Qur’an, hlm. 1
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Isalam, Hal. 28
[4] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan
Menurut Hukum Perdata (BW), Hal. 3
[5] Ibid. Hal 17
[6] Amandemen UU Peradilan Agama, Media Centre

Makalah Asuransi Tenaga Kerja

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia harus bekerja untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Dalam bekerja manusia membutuhkan ketenangan dan kesejahteraan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Dengan mengikuti program pemerintah yang mewajibkan suatu perusahaan ataupun lembaga mengikutsertakan seluruh karyawannya menjadi anggota jamsostek merupakan salah satu cara untuk memberi ketenangan dan kesejahteraan bagi karyawan dan anggota keluarganya.
Dengan adanya Jamsostek, para karyawan dapat bekerja lebih tenang sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja serta telah sesuai dengan hukum Islam yang berdasarkan dalil yang telah disebutkan dan sesuai dengan apa yang dicontohkan pada masa Rasul SAW tentang jamsostek dari baitul mal, sehingga dapat memberi ketenangan dan produktifitas  kerja karyawan.
Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.[1]
Dengan semakin meningkaknya peranan tenaga kerja dalam perkembangan pembangunan nasional di seluruh tanah air dan semakin meningkatnya penggunaan teknologi di berbagai sektor kegiatan usaha dapat mengakibatkan seinakin tinggi resiko yang mengancam keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja, sehingga perlu upaya peningkatan perlindungan tenaga kerja. Untuk itulah pemerintah menye1enggarakan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) agar tercapainya kesejahteraan. Bagi tenaga kcrja beserta kelearganya. Tujuan penelitian ini adalah untuk dapat mengetahui sampai sejauh mana peranan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) khususnyn bagi karyawan di PT. Bukaka Teknik Utama. Metode penelitian yang dipergunakan, yaitu motodo kepustnkaan dan metode lapangan. Dengan adanya program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) yang penyelenggaraannya yang dilakukan oleh PT. Astek, maka karyawan ialah memperoleh tingkat kesejahteraan yang cukup memadai , dan juga dapat menegembangkan potensi dirinya dengan aman dan nyaman serta melakukan aktivitasnya secara maksimal karena merasa dirinya maupun keluarganya terlindungi. Melalui faktor inilah produktivitas kerja dapat mudah ditingkatkan. Helihat cukup besarnya peranan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek), maka mengenai pembayaran jaminan Astek seyogyanya diberikan tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang ada. Sebab berdasarkan penelitian masih sering terjadinya keterlambatan pemhayaran jaminan Astek oleh Badan Penyelenggara PT. Astek (Persero).

B.     Identifikasi Masalah
1.      Apa saja Jenis-Jenis Asuransi Bagi Tenaga Kerja ?
2.      Bagaimana Ganti Rugi untuk Kecelakaan Tenaga Kerja ?
3.      Bagaimana Sejarah lahirnya JAMSOSTEK ?
4.      Apa saja yang dapat menjadi Ancaman di Tempat Kerja ?













BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A.    Definisi Tenaga Kerja
Tenaga kerja adalah setiap orang laki-laki atau wanita yang sedang dalam dan/atau akan melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Keselamatan kerja menunjuk kepada kondisi – kondisi fisiologis-fisikal dan pisiologis tenaga kerja yang diakibatkan oleh lingkungan kerja yang disediakan oleh perusahaan. Jika sebuah perusahaan melaksanakan tindakan – tindakan keselamatan yang efektif, maka tidak akan ada lagi kecelakaan dalam pekerja hal ini akan lebih mempercepat kesejahtraan karyawan yang nantinya juga berimbas pada hasil – hasil produksi perusahaan ini.
Peranan departemen sumber daya manusia dalam keselamatan kerja merupakan peranan yang sangat vital dalam perusahaan, departemen inilah yang merencanakan program keselamatan kerja karyawan sampi dangan pelaksanaannya.[2]

B.     Definisi Asuransi Tenaga Kerja
Asuransi Tenaga Kerja adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung,dengan menerima premi asuransi, kepada perusahaan untuk keselamatan kerja, maka karyawan ialah memperoleh tingkat kesejahteraan yang cukup memadai, dan juga dapat menegembangkan potensi dirinya dengan aman dan nyaman serta melakukan aktivitasnya secara maksimal karena merasa dirinya maupun keluarganya terlindungi. Melalui faktor inilah produktivitas kerja dapat mudah ditingkatkan.[3]



C.    Prinsip-prinsip Asuransi
Prinsip utama dalam sasuransi dalam syariah adalah ta’awanu ala al birr wa al’taqwa (tolong-menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al’tamin (Rasa aman)
Para pakar ekonomi islam mengemukakan bahwa asuransi syariah atau asuransi tafakul ditegakan atas empat prinsip utama yaitu:
1.    Saling bertanggung jawab
2.    Saling bekerja sama atau saling membantu
3.    Saling melindungi penderitaan satu sama yang lain
4.    Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.[4]
Adapun beberapa prinsip pokok asuransi yang sangat penting yang harus di penuhi baik oleh tertanggung maupun penanggung agar kontrak / perjanjian asuransi berlaku (tidak batal) dan layak untuk diasuransikan.
Adapun prinsip pokok asuransi tersebut adalah :
a.       Prinsip Itikad Baik (Utmost Good Faith)
b.      Prinsip kepentingan yang dapat di Asuransikan (Insurable Interest)
c.       Prinsip Ganti Rugi (Indemnity)
d.      Prinsip Perwalian (Subrogation)
e.       Prinsip Kontribusi (Contribution)
f.       Prinsip Sebab Akibat (Proximate Cause)

D.    Fungsi Asuransi
1.    Transfer Resiko
Dengan membayar premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan dapat memindahkan ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (resiko) ke perusahaan asuransi
2.    Kumpulan Dana
Premi yang diterima kemudian dihimpun oleh perusahaan asuransi sebagai dana untuk membayar resiko yang terjadi.[5]

BAB III
OBJEK PENELITIAN

Adapun tujuan dalam Objek penelitian makalah ini adalah ada beberapa yang pertama Tujuan Khusus yaitu untuk sebagai Sarana latihan pembuatan makalah,dan tujuan yang kedua Tujuan Umum yaitu untuk Menambah wawasan bagi penulis sendiri dan bagi pembaca tentang Asuransi tenaga kerja. Mengetahui manfaat dan tujuan adanya upaya peningkatan produktivitas tenaga kerja.
Metode Penelitian
Penulis kelompok kami menggunakan metode penelitian pustaka melalui buku-buku ataupun literatur-lieteratur yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan permasalahan yang dibahas dalam makalah ini. Sehingga penulis mendapatkan referinsi yang dibutuhkan dalam penyusunan makalah ini.
Sistematika Penelitian
Makalah ini terdiri dari Lima bab dimana pada bab I terdiri dari latar belakang, Identifikasi masalah, Bab II tentang Tinjauan Teoritis yang terdiri dari definisi tenaga kerja,definisi asuransi tenaga kerja, prinsip-prinsip asuransi  dan fungsi asuransi. Bab III tentang Objek penelitian dari penulis kelompok makalh ini. Dan bab IV tentang Pembahasan yang membahas dari indetifikasi masalah dan gabungan dari bab 1,2,3.dan bab V tentang kesimpulan jawaban dari identifikasi masalah,dan di akhir makalah ini adalah adanya daftar pustaka.











BAB IV
PEMBAHASAN

A.    Jenis-Jenis Asuransi Bagi Tenaga Kerja
Secara garis besar, asuransi terdiri dari tiga kategori, yaitu:
1)      Asuransi Kerugian
Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini diadakan, baik kerugian itu berupa :
a)      Kehilangan nilai pakai
b)      Kekurangan nilainya
c)      Kehilangan keuntungan yang diharapkan oleh tertanggung.
Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggung kalau selama jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau bahaya yang dipertanggungkan.
Terdiri dari asuransi untuk harta benda (property, kendaraan), kepentingan keuangan (pecuniary), tanggung jawab hukum (liability) dan asuransi diri (kecelakaan atau kesehatan). Asuransi kerugian, diperbolehkan dengan syarat apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari, karena terkait oleh ketentuan-ketentuan Pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang di impor dan diekspor.
Asuransi Kecelakaan Diri (Personal Accident Insurance) Asuransi yang menjamin kerugian akibat kecelakaan diri Tertanggung atau orang yang dipertanggungkan yaitu orang lain yang mempunyai hubungan dengan Tertanggung, seperti karyawan Tertanggung, anggota keluarga Tertanggung, dll.
Cover yang diberikan adalah jaminan atas kecelakaan yang mengakibatkan meninggal dunia, catat tetap (baik sebagian atau seluruhnya), cacat sementara (baik sebagian atau seluruhnya) dan beaya pengobatan.

2)      Asurasnsi Jiwa
Asuransi jiwa adalah perjanjian tentang pembayaran uang dengan nikmat dari premi dan yang berhubungan dengan hidup atau matinya seseorang termasuk juga perjanjian asuransi kembali uang dengan pengertian catatan dengan perjanjian dimaksud tidak termasuik perjanjian asuransi kecelakaan (yang masuk dalam asuransi kerugian) berdasarkan pasal I a Bab I Staatblad 1941 - 101).
Dalam asuransi jiwa (yang mengandung SAVING) penanggung akan tetap mengembalikan jumlah uang yang diperjanjikan, kepada tertanggung.
§  Kalau tertanggung meninggalkan dalam massa berlaku perjanjian, atau
§  Pada saat berakhirnyajangka waktu perjanjian keperluannya suka rela.
Pada hakekatnya merupakan suatu bentuk kerja sama antara orang-orang yang menghindarkan atau minimal mengurangi risiko yang diakibatkan oleh risiko kematian (yang pasti terjadi tetapi tidak pasti kapan terjadinya), risiko hari tua (yang pasti terjadi dan dapat diperkirakan kapan terjadinya, tetapi tidak pasti berapa lama) dan risiko kecelakaan (yang tidak pasti terjadi, tetapi tidak mustahil terjadi). Kerjasama mana dikoordinir oleh perusahaan asuransi, yang bekerja atas dasar hukum bilangan besar (the law of large numbers), yang menyebarkan risiko kepada orang-orang yang mau bekerjasama. Yang termasuk dalam program asuransi jiwa seperti: asuransi untuk pendidikan, pensiun, investasi, tahapan, kesehatan.
Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:
Apabila asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan). Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi). Pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam. Apabila sebelum jatuh tempo yang telah disepakati bersama antara pihak tertanggung dan pihak menanggung seperti yang telah disebutkan dalam polis (surat perjanjian). ternyata pihak penanggung sangat memerlukan (keperluan yang bersifat darurat) uang tabungannva, maka pihak tertanggung dapat mengambil atau mcnarik kemballi sejumlah uang simpanannya dari pihak penanggung dan pihak penanggung berkewajiban menyerahkan sejumlah uang tersebut kepadanya.
Apabila pada suatu ketika pihak tertanggung terpaksa tidak dapat membayar uang premi, maka :
§  Uang premi tersebut menjadi hutang yang dapat diangsur oleh pihak tertanggung pada waktu-waktu pembayaran uang premi berikutnya.
§  Hubungan antara pihak tertanggung dan pihak penanggung dinyatakan tidak putus.
§  Uang tabungan milik pihak tertanggung tidak dinyatakan hangus oleh pihak penanggung.
§  Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak untuk mengambil sejumlah uang simpanannya, sedang pihak penanggung berkewajiban mengembalikan sejumlah uang tersebut.
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) jenis asuransi jiwa yaitu :
1)      Term assurance (Asuransi Berjangka) Term assurance adalah bentuk dasar dari asuransi jiwa, yaitu polis yang menyediakan jaminan terhadap risiko meninggal dunia dalam periode waktu tertentu.
Contoh Asuransi Berjangka (Term Insurance) :
§  Usia Tertanggung 30 tahun
§  Masa Kontrak 1 tahun
§  Rate Premi (misal) : 5 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
§  Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
§  Premi Tahunan yang harus dibayar : 5/1000 x 100.000.000 = Rp. 500.000
§  Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak pertama (50%)
Penjelasan : Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.
2)      Whole Life Assurance (Asuransi Jiwa Seumur Hidup) Merupakan tipe lain dari asuransi jiwa yang akan membayar sejumlah uang pertanggungan ketika tertanggung meninggal dunia kapan pun. Merupakan polis permanen yang tidak dibatasi tanggal berakhirnya polis seperti pada term assurance. Karena klaim pasti akan terjadi maka premium akan lebih mahal dibanding premi term assurance dimana klaim hanya mungkin terjadi. Polis whole life merupakan polis substantif dan sering digunakan sebagai proteksi dalam pinjaman.
3)      Endowment Assurance (Asuransi Dwiguna) Pada tipe ini, jumlah uang pertanggungan akan dibayarkan pada tanggal akhir kontrak yang telah ditetapkan.
Contoh Asuransi Dwiguna Berjangka (Kombinasi Term & Endowment)
§  Usia Tertanggung 30 tahun
§  Masa Kontrak 10 tahun
§  Rate Premi (misal) : 85 permill/tahun dari Uang Pertanggungan
§  Uang Pertanggungan : Rp. 100 Juta
§  Premi yang harus dibayar : 85/1000 * 100.000.000 = Rp. 8.500.000,-
§  Yang ditunjuk sebagai penerima UP : Istri (50%) dan anak pertama (50%)
Penjelasan,
1)      Bila tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan Asuransi sebagai penanggung akan membayar uang Pertanggungan sebesar 100 juta kepada yang ditunjuk.
2)      Bila tertanggung hidup sampai akhir kontrak, maka tertanggung akan menerima uang pertanggungan sebesar 100 juta.


3)      Asuransi Sosial
Asuransi sosial adalah program asuransi wajib yang diselenggarakan pemerintah berdasarkan UU. Maksud dan tujuan asuransi sosial adalah menyediakan jaminan dasar bagi masyarakat dan tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan komersial.
Ialah asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, yaitu:
1)      Asuransi kecelakaan lalu lintas (jasa raharja).
2)      Asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI. Sifat asuransi sosial
3)      Dapat bersifat asuransi kerugian
4)      Dapat bersifat asuransi jiwa.
Asuransi sosial diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut; Asuransi sosial tidak termasuk akad mu Diselenggarakan oleh Pemerintah. Sehingga kalau ada ruginya ditanggung oleh Pemerintah, dan kalau ada untungnya dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.’awadlah, tetapi merupakan syirkah ta’awuniyah.

B.     Ganti Rugi untuk Kecelakaan Tenaga Kerja
Pada dasarnya dapat disebutkan asuransi buruh/tenaga kerja,pembayaran asuransi ditanggulangi oleh pihak pemilik Perusahaan ( pemimpin Perusahaan).Orang asing juga dapat menerima asuransi ini tidak lihat dari status izin tinggalnya bila bekerja di perusahaan termasuk kerja sambilan atau part time.Apabila dalam bekerja mengalami kecelakaan,mengalami sakit,dan bila meninggal,juga pada waktu bekerja mengalami bencana,maka asuransi buruh menjadi sasarannya, macam-macam hal tentang pembayaran ganti rugi. Tetapi,bila pekerjanya atau pemilik Perusahaannya tidak mendaftarkan asuransi ini ke Petugas standart tenaga kerja,maka tidak menerima pembayaran ganti rugi.Bila anda mengalami kecelakaan tenaga kerja, yang pertama kali adalah melaporkan ke petugas standart tenaga kerja.
1.      Pembayaran ganti rugi pengobatan
Apabila pekerja,pada waktu bekerja mengalami kecelakaan dan sakit,kebutuhan akan ongkos perawatan dan pengobatan akan dibayar.
Apabila ingin mendapatkan pengganti rugian ongkos perawatan,sebisanya merawat ke rumah sakit yang telah ditunjuk oleh asuransi tenaga kerja.Di rumah sakit menyediakan formulir surat penagihan pembayaran pengobatan,pada waktu pertama kali memeriksakan ke rumah sakit,dan formulir surat tersebut diserahkan,maka permohonan asuransi tenaga kerja telah terbuat,tidak perlu membayar apa pun sampai perawatannya selesai.Bila menggunakan asuransi kesehatan masyarakat nasional atau asuransi kesehatan swasta(pribadi) juga harus memohon asuransi kecelakaan tenaga kerja.
  1. Pembayaran ganti kerugian hari libur
Apabila pekerja,pada waktu bekerja mengalami gangguan,dan untuk itu membutuhkan libur kerja untuk perawatan dan pengobatan,dan tidak menerima upah kerja, 60% dari dasar upah perhari akan dibayar dari 4 hari itu.
Surat penagihan ganti kerugian hari libur (mendapatkannya dipetugas standart tenaga kerja) dan memberikannya ke petugas standart tenaga kerja.
  1. Pembayaran ganti kerugian masa gangguan
Ketika bekerja mengalami kecelakaan dan sakit,dan di tubuhnya meninggalkan bekas gangguan(cacat),akan mendapatkan pembayaran.
  1. Pembayaran tunjangan keluarga
Apabila pekerja,pada waktu bekerja mengalami meninggal dunia,akan mendapatkan pembayaran tunjangan keluarga.

C.    Sejarah Lahirnya JAMSOSTEK
Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.
Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan.
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan pada pasal 34 ayat 2, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengesahkan Amandemen tersebut, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja.
Kiprah Perseroan yang mengedepankan kepentingan dan hak normative Tenaga Kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.
Dengan penyelenggaraan yang makin maju, program Jamsostek tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa.

D.    Hal-hal dapat menjadi Ancaman di Tempat Kerja
Akan terbit ketentuan penyakit akibat kerja. Tanggung jawab Astek diperluas. Adakalanya pekerjaan punya dua kenyataan berlawanan. Dari satu sisi berkahnya merupakan sumber hidup. Di sisi lain, sebagai ancaman yang mendatangkan kerugian yang fatal. Banyak bidang pekerjaan secara langsung berhubungan dengan penyakit yang mematikan. Misalnya, pneumakonosis. Pengotoran paru-paru oleh debu ini sulit disembuhkan. Penyakit ini muncul terutama akibat debu di tempat kerja yang kotor. Ihwal ancaman di lingkungan kerja itu didiskusikan di Jakarta awal pekan silam. Penyelenggaranya adalah Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N). Dewan yang dibentuk Departemen Kesehatan dan Departemen Tenaga Kerja ini kini sedang menyusun acuannya, dengan judul Pedoman Penegakan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan Penilaian Tingkat Kecacatan. nanti diharapkan dapat menjadi pedoman dokter mendeteksi penyakit akibat pekerjaan. Selama ini banyak penyakit, akibat pekerjaan, yang tidak umum dikenal dokter. Tapi, buku itu tidak hanya petunjuk untuk dokter. Di dalamnya juga digariskan standar yang memastikan penyakit akibat kerja. Kepastian ini diperlukan untuk menjamin hak seorang pekerja memperoleh ganti rugi. Dalam diskusi itu Menteri Kesehatan Adyathma mengetengahkan upaya memperkecil ancaman kesehatan di tempat kerja. "Sekurangkurangnya diperlukan tiga pendekatan," katanya. Ada tindakan pencegahan, misalnya, melengkapi perangkat pengamanan kerja. Ada pula upaya penyembuhan berupa pelayanan kesehatan. Lalu, secara keseluruhan ancaman terhadap kesehatan itu perlu diatasi lewat kebijaksanaan pemerintah dan undang-undang. Pembicara lain adalah Menteri Tenaga Kerja Cosmas Batubara. Ia mengetengahkan, antara lain, kondisi kerja dewasa ini. Karena tidak tegasnya ketentuan tersebut, menurut Cosmas, selama ini banyak terjadi kasus pelanggaran kesehatan kerja. Contohnya, si pekerja tak diberi penutup telinga, filter debu, atau kaca mata penahan sinar. Selain itu, kondisi tempat kerja banyak yang melanggar berbagai persyaratan kebersihan yang berkaitan langsung dengan kesehatan karyawan. Sementara itu, Prof. Supartondo menjajarkan beberapa pangkal penyakit di lingkungan kerja. Di antaranya, kebisingan, debu, radiasi, suhu panas, kondisi kimiawi, limbah, bakteri, jamur, dan cacing. Bahkan, suasana kerja bisa mengakibatkan tekanan.
























BAB V
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Jenis-Jenis Asuransi Bagi Tenaga Kerja Adalah :
1)      Asuransi Kerugian
2)      Asurasnsi Jiwa
3)      Asuransi Sosial
Ganti Rugi untuk Kecelakaan Tenaga Kerja yaitu Pada dasarnya dapat disebutkan asuransi buruh/tenaga kerja,pembayaran asuransi ditanggulangi oleh pihak pemilik Perusahaan ( pemimpin Perusahaan). diantaranya
a.       Pembayaran tunjangan keluarga
b.      Pembayaran ganti kerugian masa gangguan
c.       Pembayaran ganti kerugian hari libur
d.      Pembayaran ganti rugi pengobatan
Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan.
Prof. Supartondo menjajarkan beberapa pangkal penyakit di lingkungan kerja yang menjadi ancaman di tempat kerja. Di antaranya, kebisingan, debu, radiasi, suhu panas, kondisi kimiawi, limbah, bakteri, jamur, dan cacing. Bahkan, suasana kerja bisa mengakibatkan tekanan.

B.     SARAN
Adapun saran yang dapat kami berikan adalah sebagia berikut, Perusahaan dalam hal ini manajer Sumber Daya Manusia harus merencanakan atau membuat program yang berkesinambungan mengenai keselamatan kerja karyawan. Perusahaan hendaknya tidak tinggal diam apabila ditemukan terjadi kecelakaan pada saat karyawan bekerja
Kecelakaan pada saat bekerja merupakan resiko yang merupakan bagian dari pekerjaan, untuk utu perusahaan hendaknya mencegah dalam hal ini melakukan proteksi atau perlindungan berupa kompensasi yang tidak dalam bentuk imbalan, baik langsung maupun tidak langsung, yang diterapkan oleh perusahaan kepada pekrja. Proteksi atau perlindungan pekerja merupakan keharusan bagi sebuah perushaan.

























DAFTAR PUSTAKA

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
            Jakarta, 1986
R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta,
2004
Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafiti,
Jakarta 1992
Gemala Dewi, Perasuransian syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media,
Jakarta, 2006
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi Indonesia, Intermasa, Bandung, 1991
Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003
Undang-undang republik indonesia Nomor 13 tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
Undang-undang republik indonesia Nomor 3 tahun 1992 Tentang Jaminan sosial
tenaga kerja
Undang-undang republik indonesia Nomor 25 tahun 1997 Tentang
Ketenagakerjaan
Undang-undang republik indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian


[1] Undang-undang republik indonesia Nomor 3 tahun 1992 Tentang Jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 3 dan 4)
[2] Undang-undang republik indonesia Nomor 25 tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan (Pasal 2)
[3] Undang-undang republik indonesia Nomor 3 tahun 1992 Tentang Jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 3 ayat 1)
[4] Gemala Dewi, Perasuransian syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006
[5] Undang-undang republik indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian (Pasal 2)