HUKUM PIDANA MATI
DALAM PERSPEKTIF HAM
MAKALAH
Diajukan sebagai tugas terstruktur
pada mata kuliah Hukum HAM.
Dosen I : Prof. Dr. H. Deddy Ismatullah, SH, M.Hum
Dosen II : Dede Kania, Shi, MH
Disusun oleh :
TAUFIK AKBAR | 208.301.247 |
IH-C SEMESTER III
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2009
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
- Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
- Rumusan Masalah................................................................................. 2
- Tujuan Penulisan................................................................................... 2
- Manfaat Hasil Penulisan....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 4
- Pengertian ............................................................................................ 4
1) HAM.............................................................................................. 4
2) Hukum Pidana................................................................................ 7
3) Pidana Mati.................................................................................... 9
- Konsepsi HAM dalam Perundangan RI............................................... 9
- Hukuman Mati di Indonesia................................................................. 11
- Macam-Macam Pidana Mati Yang Ada Di Indonesia......................... 12
- Hukum Pidana Mati Dalam Perspektif HAM...................................... 13
BAB III PENUTUP ...................................................................................... 18
- Kesimpulan .......................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan demokrasi kita terasa makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum memuaskan karena banyak konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara beragam mulai dari orang/masyarakat awam hingga kalangan yang 'melek' HAM. HAM yang bersifat kodrati dan berlaku universal itu pada hakikatnya berisi pesan moral yang menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok bahkan penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati dan melindunginya.
Pesan moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya ikat secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat (dicantumkan dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional, maka semua orang harus menghormatinya. Paling tidak negara (sebagai yang bertanggung jawab dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan HAM) yang ikut terlibat dalam atau sebagai peserta konvensi dan terlibat dalam penandatanganannya, juga terhadap piagam yang telah disetujui bersama itu, akan terikat dan berkewajiban untuk meratifikasinya ke dalam peraturan perundangan masimng-masing negara bersangkutan. Dalam proses demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam hukum. Dengan kata lain, pesan HAM tersebut telah menjelma menjadi pesan hukum karena ia telah dinormakan yakni melalui peraturan perundangan. Dengan demikian, konsepsi HAM yang dimuat dalam berbagai peraturan perundangan itu akan berfungsi sebagai suatu norma yang mengikat, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan.
Meski demikian, fungsi hukum yang mengatur tentu selalu ada dan tampak ketika fenomena sosial itu harus diatur, karena pertama, ia harus dilindungi dari tindakan atau perbuatan sewenang-wenang, ketidakseimbangan dan ketidakpastian, dan sebagainya. Kedua, karena persoalan pelaksanaan (implementasi) yang memang harus diatur pula. Semua harus berlangsung tertib dan teratur di bawah aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian, fungsi mengatur dan menertibkan hukum (yang ada dalam peraturan perundangan) itu, terdapat upaya 'membatasi' dalam pelaksanaannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka kami dapat merumuskan masalah dalam karya tulis ini, sebagai berikut:
1. Hakikat tentang HAM dan hukum pidana mati?
2. Hukuman mati di Indonesia?
3. Macam-macam hukuman mati yang terdapat di Indonesia?
4. Hukum pidana mati dalam perspektif HAM?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah; untuk mengetahui bagaimana hakekat sebenarnya tentang hukum pidana mati dan hukum HAM yang ada di Negara kesatuan Republik Indonesia
Selain itupun kita dapat mengetahui bagaimana sejarah munculnya hukuman mati di indonedia dan bagaimana Hukum HAM dalam memandang hukuman tersebut.
D. Manfat Hasil Penulisan
Semoga hasil penulisan dari makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis khususnya, karena pada dasarnya kita semua adalah seorang yang masih membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan untuk mengetahui segala hal yang ada di dalam kehidupan kita, dalam makalah inipun menjelaskan beberapa pendapat pakar terhadap hukum pidana yang nantinya akan menjadikan referensi tersendiri bagi para pembaca dalam memaknai hukum pidana tersebut.
Kemudian pandangan hukum HAM terhadap pidana mati yang terdapat di Negara Indonesia pun mengiringi pemaparan makalah ini, dengan tujuan untuk membuka wawasan para penbaca tentang pandangan HAM terhadap pidana mati tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1) HAM.
Dalam Hak Asai Manusia terkandung pengertian hak kewajiban yang dimiliki oleh setiap orang dalam tata pergaulan hidupnya serta dengan lingkungan. Kehidupannya serta dengan Tuhannya, terdapat beberapa tata kehidupan yang bersumber dari Tuhan atau agama (hak kodrat) yaitu hak hidup, kebebasan (freedom) serta hak jiwa raga yaitu hak menikmati kekayaan kebahagiaan (pursult of happiness) ketiga hak kodrati diatas diturunkan tuhan kepada setiap umatnya tanpa pilih kasih untuk melengkapi hidupnya sedangkan kewaiban yang dipikul oleh kita yaitu kewajiban bersyukur, beriman dan bertakwa kepada-Nya. Di sisi lain terdapat hak kewajiban yang bersuber daeri kehidupan sesame manusia, ingkungan hidup dimana kita hidup dimasyarakat. Sumber ini kita kenla dengan sebutan kaidah atau norma social, kebiasaan atau adapt istiadat, hak dan kewajiban yang lain di tentukan oleh Negara dan organisasi-organisasi seperti PBB dan lain-lain.[1]
Secara khusus hak asasi manusia ini dapat dirinci yaitu:
a. Hak asasi pribadi, yang meliputi hak kemerdekaan m,emeluk agama, menyatakan pendapat, dan kebebasan berorganisasi atyau berpartai.
b. Hak asasi ekonomi, yang meliputi hak kebebasan memiliki sesuatu, hak membeli atau menjual sesuatu, dan hak mengadakan suatu perjanjian atau kontrak.
c. Hak asasi mendapat pengayoman dan perlkauan yang sama dalam keadilan dan pemerintahan (hak persamaan hukum).
HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan. Didalam Negara merdeka hak-hak asasi manusia seharusnnya secara keselruruhan terjamin, Karena pada hakikatannya kemerdekaan negara dan bangsa berarti kemerdekaan pula bagi warga negara oleh karena itu setiap wargan gera sudah sewajarnya menikmati kemerdekaan nasionalnya yang berwujud kebebesan dalam fitrahnnya misalnnya : hak mmilih dan dipilih, hak mendapat perlindungan dan perlakuan yang baik/adil, hanya mendapat pendidikan dan pengajaran, serta hak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak dan kesejahteraan hidup, kesadaran menghormati hak asasi dalam pergaulan, mencerminkan kedewasaan dan kebijakan seseorang,. Kritik dan penyampaian juga menunjukan kematangan seseorang. Masalah hak asasi manusia adalah hak masalah sesama manusia, hal ini mengandung arti akan menyangkut masalah hak dan kewajiban tugas dan tangung jawab, serta penghormatan dan perlakuan terhadap sesama manusia. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi oleh sesama warga negera, mengakibatkan tidak adannya tertib sosial dan tertib hukum. [2]
1. Hak asasi manusia menurut UUD 1945
Dalam UUD 1945 pokok-pokok yang dirumuskan dalam UUD 1945, terutama dalam pembukaan maupun dalam bartang tubuhnya yaitu merupakan hak bangsa atas kemerdekaan atau kebebasan terlepasa dari segala bentuk penjajahan tidak saja berlaku bagi bangsa indonesia saja tapi bagio semua bangsa di dunia (alinea I pembukaan) dan yang penting bagi bangsa indonesia adalah yang tercantum, pada (alinea IV pembukaan) bahwa tujuan pemerintah Ri terhadap dunia internasional adalah ”ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, dan yang khas bagi negara dan bangsa indonesia adalah bahwa kemerdekaan dan kebangsan indonesia itu dalam satu negara hukum yang berdasarkan ”pancasila”
Mengenai hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, dalam penjelasanya tiudak diberikan ketegasan lebih lanjut, meskipun ketika rancangan UUD ini disusun tela beberapa kali disinggung dalam sidang-sidang badan penyelidian usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) oleh beberapa ahliu seperti moh hata, moh Yamin. Hal tersebut tidaklah mengherankan menginagt bahwa masalah UUD 1945 disusun pada akhir pada masa pendudukan jepang dalam suasana mendesak yang waktrunya sangat terbatas untuk membiarakan ak-hak asasi secara mendalam, sedang kehadiran jepang di bumi Indonesia kurang mendukung untuk merumuskan hak-hak asasi manusia disamping itu lahir UUD 1945, beberapa tahun sebelum perntyataan hak-hak asasi diterima oleh PBB walaupun sebelumnnya telah banyak piagam-piagam yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia.
Diterimanya pernyataan HAM oleh PBB, sekaligus menunjukan dengan jelas bahwa gagasan mengenai perluannya HAM dijamin, hal ini benara-benar didukung oleh seluruh umat manusia seluruh dunia. Hala ini pun dirasakan oleh bangsa indonesia, dapat kita buktikan dalam UU berkonstitusi berikutnnya yang pernah digunakan di Indonesia: yaitu konstitusi RI serikat 1949 dan UUD sementara 1950 bahwa hak asasi ditambah dan diperlengkap.
Secara garis besar dasar pemikiran HAM dalam pembukaan UUD 1945 mengandung prinsip :
1. kemerdekaan indonesia sesungguhnya adalah berkat Rahmat allah yang Maka kuasa.
2. segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah indonesia di lindungi.
3. negara memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
4. negara ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdaaian abadi, dan keadilan sosial.
5. negara republik indonesia adalah negara hukum berdasarkan pancasila.
Hak dan kewajiban yang tercantum dalam UUD 1945, yaitu:
a. pasal 27, ayat (1) menyatakan bahwa ”segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan. Dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Ayat (2), menyatakan bahwa : ”tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia”.
b. Pasal 28 menyatakan bahwa ”kemerdekaan berserikat dan bverkumpul mengeluarkan pikioran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainnya ditetapkan dengan UU”
c. Pasal 29 ayat (2), menyaakan bahwa ”negara menjamin kemerdekaan penduiduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribdah dan kepercayaannya itu”.
2. Pemahaman tentang Hak Asasi Manusia
Didalam mukadimah deklarasi universal tentang HAM yang telah disetujui dan diuumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 217 A(III) tanggal 10 – 12 -1948 terdapat pertindang-pertindangan berikut :
1. Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama yang tidak terasingkan dari semua anggota keluarga manusia, keadilan dan perdamaian di dunia.
2. Menimbang bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada hak-hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahandalam hati nurani umat manuysia dan bahwa terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan m,engecap kenikmatan kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertingi dari rakyat jelata.
menimbang bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi peraturan hukum supaya orang tidak terpaksa emilih pemberontakan sebagai usaha yang terakhir untuk menentang kelaliman dan penjajahan.[3]
2) Hukum Pidana.
Pengertian hukum pidana secara tradisional adalah “Hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan”. Pengertian lain adalah, “Hukum pidana adalah peraturan hukum tentang pidana”. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan”, yaitu hal yang dilimpahkan oleh instansi yang berkuasa kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak dilimpahkan sehari-hari.
Sedangkan Prof. Dr. Moeljatno, SH. menguraikan berdasarkan dari pengertian istilah hukum pidana bahwa “Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilakasanakan apabila orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut “.
Berkenaan dengan pengertian dari hukum pidana, C.S.T. Kansil juga memberikan definisi sebagai berikut; “Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan, selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum mengenai kepentingan umum“.
Adapun yang termasuk kepentingan umum menurut C.S.T kansil adalah:
a) Badan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
b) Kepentingan umum tiap manusia yaitu, jiwa, raga, tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda.
3) Pidana Mati.
Pidana mati merupakan hukuman yang terberat dari jenis-jenis ancaman hukuman yang tercantum dalam KUHP bab 2 pasal 10 karena pidana mati merupakan pidana terberat yaitu yang pelaksanaannya berupa perampasan terhadap kehidupan manusia, maka tidaklah heran apabila dalam menentukan hukuman mati terdapat banyak pendapat yang pro dan kontra dikalangan ahli hukum ataupun masyarakat itu sendiri.
Sebagian orang berpendapat bahwa pidana mati dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu dengan hukuman mati. Dari pendapat ini tampak jelas bahwa secara tidak langsung tujuan pidana yang dikatakan oleh Van Hammel adalah benar yaitu untuk membinasakan.
Pendapat yang yang lain mengatakan bahwa hukuman mati sebenarnya tidak perlu, karena mempunyai kelemahan. Apabila pidana mati telah dijalankan, maka tidak bisa memberikan harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atas pidananya maupun perbaikan atas dirinya sendiri. Karena salah satu tujuan adanya pidana adalah untuk mendidik ataupun memberikan rasa jera agar si pelaku tidak mengulangi pada tindakan yang sama.
Sedangkan untuk tujuan pidana mati itu sendiri selalu ditujukan pada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman akan merasa takut apabila melakukan perbuatan-perbuatan kejam.
B. Konsepsi HAM Dalam Perundangnan RI.
Penuangan konsep HAM dalam pelbagai peraturan perundangan tidak boleh dikatakan purna atau tidak purna, karena sesungguhnya pencantuman pernyataan HAM di dalam peraturan perundangan itu bermaksud awal, menegaskan kembali hak yang telah ada dan mungkin lebih dahulu disebut dalam beragam peraturan perundangan lain. Meski, akomodasi mengenai HAM dalam berbagai peraturan perundangan lain itu tidak langsung dan agak samar-samar. Mengapa konstitusi kita (UUD 1945) tidak banyak memuat ketentuan mengenai HAM, mulanya adalah karena pada waktu itu awal pembentukan negara dan Konstitusi itu sendiri. Kita beranggapan, cukup 'diwakili' oleh Pembukaan UUD 1945 sehingga dalam Batang Tubuh (pasal-pasal)-nya tidak dijabarkan lagi.
Akan tetapi kini ternyata kita 'terpaksa'. mencantumkan/menjabarkannya ke dalam pasal-pasal UUD 1945. Bahkan melalui amandemen kedua, kita menambah dan memperjelas ketentuan berkenaan HAM dalam satu bab tersendiri, yakni Bab XA dari pasal 28A hingga 28 J UUD 1945. Hal ini bisa jadi dapat dianggap masih kurang, meski sebenarnya telah cukup karena nantinya secara rinci juga akan dijabarkan ke dalam peraturan perundangan khusus berkenaan HAM. Lahirnya UU Nomor 33 Tahun 1999 tentang HAM dan seperangkat peraturan perundangan yang ada mengenai HAM sebagai penjabaran lebih lanjutnya, termasuk UU yang berasal dari ratifikasi konvensi internasional mengenai HAM, sesungguhnya menguatkan adanya indikasi bahwa RI berupaya sungguh-sungguh memperhatikan persoalan yang berkenaan dengan HAM. Meski demikian, karena konsepsi HAM yang tidak harus sama antara satu negara dengan negara lainnya terutama karena persoalan ideologi dan sebagainya, maka yang disebut sebagai 'pengakuan' HAM itu menjadi berbeda pula. Dengan kata lain, terdapat batasan dalam penerimaan konsepsi HAM tersebut.
Nilai persamaan dan kebebasan yang ada dalam konsepsi HAM khususnya yang berasal dari negara Barat, berbeda dengan negara Timur dan RI. Landasan yang dipergunakan Indonesia dalam memahami HAM adalah agama, nilai luhur budaya bangsa yang berakar pada Pancasila sebagai ideologi negara, juga nilai moral yang berlaku universal. Jika fungsi peraturan perundangan membatasi HAM dalam pelaksanaannya, maka tentu dimaknai lebih dahulu bahwa tujuannya adalah dalam rangka perlindungan dan jaminan bagi pelaksanaan HAM. Tegak dan terlaksananya HAM bila kewajiban asasi dilaksanakan, dan untuk melaksanakan semua ini diperlukan peraturan perundangan. Membatasi pelaksanaan HAM tidak sama dengan menghilangkan atau merampas hak azasi orang, karena pada dasarnya HAM itu bersifat inviolable (tidak boleh diganggu gugat keabsahannya) dan inelienable (tidak boleh dicabut atau diserahkan pada siapa pun yang berkuasa).
C. Hukuman Mati Di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak menjatuhkan pidana mati. Berdasarkan catatan berbagai Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional, Indonesia termasuk salah satu negara yang yang masih menerapkan ancaman hukuman mati pada sistem hukum pidananya (Retentionist Country). Retentionist maksudnya de jure secara yuridis, de facto menurut fakta mengatur pidana mati untuk segala kejahatan. Tercatat 71 negara yang termasuk dalam kelompok ini. Salah satu negara terbesar di dunia yang termasuk dalam retentionist country ini adalah Amerika Serikat. Dari 50 negara bagian, ada 38 negara bagian yang masih mempertahankan ancaman pidana mati . Padahal seperti diketahui, Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang paling besar gaungnya dalam menyerukan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Namun dalam kenyataannya masih tetap memberlakukan ancaman pidana mati, juga dalam hukum militernya.
Angka orang yang dihukum mati di Indonesia, termasuk cukup tinggi setelah Cina, Amerika Serikat, Kongo, Arab Saudi, dan Iran. Di Indonesia sendiri, sejak 1982 hingga 2004, tidak kurang dari 63 yang berstatus sedang menunggu eksekusi, atau masih dalam proses upaya hukum di pengadilan lanjutan . Alasan yang banyak dikemukakan berkaitan dengan resistensi politik agar setiap negara menghormati pemikiran bahwa masalah sistim peradilan pidana merupakan persoalan kedaulatan nasional yang merupakan refleksi dari nilai-nilai kultural dan agama, dan menolak argumen bahwa pidana mati merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Terkecuali Cina dan Amerika Serikat, negara yang masih mempertahankan ancaman pidana mati adalah negara yang didominasi oleh penduduk muslim. Sedangkan Indonesia adalah negara yang notabene merupakan negara yang penduduknya juga didominasi oleh penduduk muslim.
Hasil sejumlah studi tentang kejahatan tidak menunjukkan adanya korelasi antara hukuman mati dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Beberapa studi menunjukkan, mereka yang telah dipidana karena pembunuhan (juga yang berencana) lazimnya tidak melakukan kekerasan di penjara. Begitu pula setelah ke luar penjara mereka tidak lagi melakukan kekerasan atau kejahatan yang sama. Sebaliknya sejumlah ahli mengkritik, suatu perspektif hukum tidak dapat menjangkau hukum kerumitan kasus-kasus kejahatan dengan kekerasan di mana korban bekerjasama dengan pelaku kejahatan, di mana individu adalah korban maupun pelaku kejahatan, dan dimana orang yang kelihatannya adalah korban dalam kenyataan adalah pelaku kejahatan .
D. Macam-Macam Pidana Mati Yang Ada Di Indonesia.
Untuk pelaksanaan pidana mati di Indonesia pada mulanya dilaksanakan menurut ketentuan dalam pasal 11 KUHP yang menyatakan bahwa “pidana mati dijalankan oleh algojo atas penggantungan dengan mengikat leher si terhukum dengan sebuah jerat pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan dari bawah kakinya”.
Karena dirasa kurang sesuai maka kemudian pasal tersebut di atas diubah dengan ketentuan dalam S. 1945 : 123 dan mulai berlaku sejak tanggal 25 agustus 1945. Pasal 1 aturan itu menyatakan bahwa: “menyimpang dari apa tentang hal ini yang ditentukan dalam undang-undang lain, hukuman mati dijatuhkan pada orang-orang sipil (bukan militer), sepanjang tidak ditentukan lain oleh gubernur jenderal dilakukan dengan cara menembak mati”.untuk ketentuan pelaksanaannya secara rinci di jelaskan pada UU No. 2 (PNPS) tahun 1964.
Berdasarkan keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa eksekusi hukuman mati di Indonesia yang berlaku saat ini dilakukan dengan cara menembak mati bukan dengan cara menggantungkan si terpidana pada tiang gantungan.
1) Tiga kali 24 jam sebelum pelaksanaan pidana mati, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan memberitahukan kepada terpidana dan apabila ada kehendak terpidana untuk mengemukakan sesuatu maka pesan tersebut diterima oleh jaksa;
2) Apabila terpidana sedang hamil harus ditunda pelaksanaannya hingga melahirkan;
3) Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman di daerah hukum pengadilan hukum pengadilan tingkat 1 yang bersangkutan;
4) Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan bertanggungjawab mengenai pelaksanaannya;
5) Pelaksanaan pidana mati dilaksanakan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi;
6) Kepala Polisi Daerah yang bersangkutan harus menghadiri pelaksanaan tersebut;
7) Pelaksanaan tidak boleh dimuka umum;
8) Penguburan jenazah diserahkan pada keluarga;
9) Setelah selesai pelaksanaan pidana mati tersebut Jaksa yang bersangkutan harus membuat berita acara pelaksanaan pidana mati tersebut, yang kemudian salinan surat putusan tersebut harus dicantumkan ke dalam surat putusan pengadilan.
E. Hukum Pidana Mati Dalam Perspektif HAM.
Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari peraturan-peraturan di atas, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus amandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;
(1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana HAM korban kejahatan itu di langgar. Selanjutnya
(2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang ada.
Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena itu hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga hukuman mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas. Proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati. Walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut adalah upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa disadari justru mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.
Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal 28A UUD ‘45 (Amandemen Kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara itu pasal 28I ayat (1) UUD ‘45 (Amandemen Kedua) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa HAM merupakan hak-hak kodrati yang diperoleh setiap manusia berkat pemberian Tuhan semesta alam, sesungguhnnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnnya oleh karena itu setiap manusia berhak mendapat kehidupan yang layak, kebebesan, keselamatan dan kebahagiaan.
Perdebatan hukum terhadap absah tidaknya pidana mati berangkat dari perbedaan pendapat mengenai hukum mati dalam pandangan HAM, yang pada satu sisi masih mengakui pidana mati dan sisi lain mengakui hak hidup. Bagi pihak yang menolak pidana mati, berpendapat bahwa pidana mati secara hukum adalah inkonstitusional, karena bertentangan dengan konstitusi. Dalam tata urutan peraturan perundangan di Indonesia, setiap peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Undang-undang yang memuat pidana mati bertentangan dengan konstitusi yang mengakui hak hidup. Karena konstitusi dalam tata hukum Indonesia lebih tinggi dibanding dengan undang-undang, maka pidana mati dalam undang-undang itu harus diamandemen. Pro kontra penerapan Pidana Hukuman Mati di Indonesia secara garis besar mengerucut ke dalam dua bagian besar yaitu;
(1) Bahwa hukuman mati tidak melanggar HAM karena pelaku telah melanggar HAM korban dan HAM masyarakat. Parahnya tudingan mengenai hukuman mati melangar HAM dinilai sebagai sebuah pernyataan sepihak yang tidak melihat bagaimana HAM korban kejahatan itu dilanggar.
(2) Hukuman mati dinilai melanggar HAM karena dicabutnya hak hidup seseorang yang sebetulnya hak itu sangat dihargai dan tiada seorangpun yang boleh mencabutnya. Oleh karena itu hukuman mati harus dihapuskan dalam perundang-undangan yang ada.
Pihak-pihak yang kurang menyetujui penerapan hukuman mati, kemudian merekomendasikan apa yang disebut sebagai conditional capital punisment menjadi alternatif apabila negara masih memberlakukan hukuman mati. Karena itu hukuman mati bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga hukuman mati diterapkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Di samping itu rekomendasi juga diarahkan agar pemerintah bersikap tegas. Proses hukum yang lamban dan cenderung berlarur-larut membuat timbulnya rasa kasihan dan iba dikalangan masyarakat terhadap mereka yang di pidana mati. Walaupun di satu sisi terdapat anggapan bahwa proses hukum yang lama tersebut adalah upaya memberi kesempatan bagi terpidana mati, namun kondisi ini tanpa disadari justru mempunyai sisi ketidak pastian hukum bagi terpidana mati.
Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, agaknya harus diyakini jika penerapan hukuman mati adalah jelas-jelas melanggar Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal 28A UUD ‘45 (Amandemen Kedua) telah menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sementara itu pasal 28I ayat (1) UUD ‘45 (Amandemen Kedua) menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Bachsan Mustofa, Sistem Hukum Indonesia,Remaja karya, Bandung; 1984
Azyumardi azra, Demokrasi HAM dan masyarakat madani, Tim ICCE UIN
Jakarta; 2003
Prof. Mr Dr L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta; PT. Pradinya
Paramita, 1999
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta; Raja Grafindo Persada,
2007
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002
Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta;
Alumni Ahaem, 1986
Moeljatno, Kitab Undang-undang Pidana, Jakarta;Bumiaksara, 2008
Sumber Elektronik
http://witantra.wordpress.com/2008/05/30/ertikel-HAM/ Sept 03, 2009 @
10:40 pm
8:54 pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar